Trilingual Legal Memorandum
Comparative Analysis: English, Indonesian, & Chinese
English (Legal English) | Indonesian (Bahasa Indonesia) | Chinese (中文) | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Comprehensive Juridical Analysis and Potential Commercial Disputes Based on Minister of Industry Regulation No. 35 of 2025 | Analisis Yuridis Komprehensif dan Potensi Sengketa Komersial Berdasarkan Peraturan Menteri Perindustrian No. 35 Tahun 2025 | 基于工业部长条例2025年第35号的全面法律分析与潜在商业纠纷 | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
I. INTRODUCTION Executive Summary This legal memorandum presents a critical and in-depth juridical analysis of the draft Minister of Industry Regulation Number 35 of 2025 concerning the Provisions and Procedures for the Certification of Domestic Component Level and Company Benefit Weight ("PERMENPERIN 35/2025"). This regulation marks a fundamental paradigm shift from the previous Domestic Component Level (TKDN) regime. Not only does it introduce a new calculation methodology based on factors of production—a significant deviation from the long-standing cost-based approach—but this regulation also introduces a new and potentially subjective qualitative concept, namely the Company Benefit Weight (BMP).¹ Although recital letter b of this regulation states that its primary objective is to provide legal certainty, our analysis identifies that the inherent complexity, reliance on subjective criteria, and the formalization of legal liability for third-party verification institutions actually create various new and complex potential disputes, both in the realm of commercial litigation and state administrative law.² This memorandum will systematically dissect these potential points of conflict, analyze the procedural avenues for legal remedies, and offer strategic recommendations for risk mitigation for business actors. | I. PENDAHULUAN Ringkasan Eksekutif Memorandum hukum ini menyajikan analisis yuridis yang kritis dan mendalam terhadap rancangan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 35 Tahun 2025 tentang Ketentuan dan Tata Cara Sertifikasi Tingkat Komponen Dalam Negeri dan Bobot Manfaat Perusahaan ("PERMENPERIN 35/2025"). Peraturan ini menandai suatu pergeseran paradigma fundamental dari rezim Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) sebelumnya. Tidak hanya memperkenalkan metodologi penghitungan baru yang berbasis faktor produksi—sebuah deviasi signifikan dari pendekatan cost-based yang telah lama berlaku—peraturan ini juga mengintroduksi sebuah konsep kualitatif yang baru dan berpotensi subjektif, yaitu Bobot Manfaat Perusahaan (BMP).1 Meskipun konsiderans menimbang huruf b dalam peraturan ini menyatakan bahwa tujuan utamanya adalah untuk memberikan kepastian hukum, analisis kami mengidentifikasi bahwa kompleksitas inheren, ketergantungan pada kriteria subjektif, dan formalisasi tanggung jawab hukum bagi lembaga verifikasi pihak ketiga justru menciptakan berbagai potensi sengketa baru yang kompleks, baik dalam ranah litigasi komersial maupun hukum administrasi negara.2 Memorandum ini akan membedah secara sistematis titik-titik rawan konflik tersebut, menganalisis jalur prosedural untuk upaya hukum, dan menawarkan rekomendasi strategis untuk mitigasi risiko bagi para pelaku usaha. | 一、引言 执行摘要 本法律备忘录对关于国内组件水平和公司效益权重认证的规定和程序的工业部长条例草案2025年第35号(“PERMENPERIN 35/2025”)进行了批判性和深入的法律分析。该条例标志着与以往的国内组件水平(TKDN)制度相比的根本性范式转变。该条例不仅引入了基于生产要素的新计算方法——这是对长期实行的成本基础方法的重大偏离——还引入了一个新的、可能带有主观性的定性概念,即公司效益权重(BMP)。¹ 尽管该条例的考虑部分b项声明其主要目标是提供法律确定性,但我们的分析发现,其固有的复杂性、对主观标准的依赖以及对第三方验证机构法律责任的正式化,实际上在商业诉讼和国家行政法领域制造了各种新的、复杂的潜在争议。² 本备忘录将系统地剖析这些潜在的冲突点,分析法律救济的程序途径,并为商业参与者提供风险缓解的战略建议。 | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Scope and Methodology This analysis is structured from a commercial litigation perspective, employing a deepened normative-juridical approach. This study examines the internal consistency of PERMENPERIN 35/2025 as well as its vertical coherence within the hierarchy of laws and regulations in Indonesia, with a focus on identifying potential disputes.¹ The primary legal bases of reference are Law Number 3 of 2014 concerning Industry, as amended several times, most recently by Law Number 6 of 2023 concerning the Enactment of Government Regulation in Lieu of Law Number 2 of 2022 concerning Job Creation into Law, and its implementing regulation, namely Government Regulation Number 29 of 2018 concerning Industrial Empowerment.³ This analysis is enriched with legal doctrine, particularly from reputable sources such as hukumonline.com, as well as a review of administrative law principles and relevant jurisprudence from the State Administrative Court (PTUN).¹⁸ | Ruang Lingkup dan Metodologi Analisis ini disusun dari perspektif litigasi komersial dengan menggunakan pendekatan yuridis-normatif yang diperdalam. Kajian ini menelaah konsistensi internal dari PERMENPERIN 35/2025 serta koherensi vertikalnya dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia, dengan fokus pada identifikasi potensi sengketa.1 Landasan hukum utama yang menjadi acuan adalah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, serta peraturan pelaksananya, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2018 tentang Pemberdayaan Industri.3 Analisis ini diperkaya dengan doktrin hukum, terutama dari sumber-sumber terkemuka seperti hukumonline.com , serta telaah terhadap prinsip-prinsip hukum administrasi dan yurisprudensi yang relevan dari Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).18 | 范围与方法 本分析从商业诉讼的角度出发,采用深化的规范-法学方法进行构建。本研究审查了PERMENPERIN 35/2025的内部一致性及其在印度尼西亚法律法规层级中的垂直连贯性,重点在于识别潜在争议。¹ 主要的法律依据是关于工业的2014年第3号法律,经多次修订,最近一次由关于将关于创造就业的2022年第2号政府法规替代法律制定为法律的2023年第6号法律修订,及其执行条例,即关于工业赋能的2018年第29号政府条例。³ 本分析借鉴了法律学说,特别是来自hukumonline.com等知名来源的资料,并审查了行政法原则和国家行政法院(PTUN)的相关判例。¹⁸ | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
II. HIERARCHICAL LEGAL FRAMEWORK AND REGULATORY VALIDITY A. Basis of Delegated Authority PERMENPERIN 35/2025 is an implementing regulation, whose validity depends on the lawful delegation of authority from a higher regulation. Recital letter a explicitly refers to Article 70 paragraph (1) of Government Regulation (PP) Number 29 of 2018, which mandates the Minister of Industry to implement the calculation and verification of the TKDN value and the BMP value through a certification process.⁴ PP No. 29 of 2018 is itself an implementing regulation of Law (UU) No. 3 of 2014 concerning Industry.³ This hierarchical chain is essential in assessing the legality of the Minister's action in issuing this regulation, which, as a whole, aims to implement the mandate of the Program for the Increased Use of Domestic Products (P3DN). It is important to note that Law No. 3 of 2014 has undergone significant changes through the Job Creation legal framework.²² Although the core P3DN mandate is maintained, the Job Creation framework fundamentally alters the business licensing landscape, shifting to a risk-based approach (Risk-Based Business Licensing).²³ PERMENPERIN 35/2025 clearly reflects this change by repeatedly making the fulfillment of "Business Licensing" commitments a prerequisite for submitting a TKDN certification application, as stipulated in Article 27 paragraph (2).¹ | II. KERANGKA HUKUM HIERARKIS DAN VALIDITAS PERATURAN A. Landasan Pendelegasian Wewenang PERMENPERIN 35/2025 merupakan sebuah peraturan pelaksanaan ( implementing regulation ), yang validitasnya bergantung pada pendelegasian wewenang yang sah dari peraturan yang lebih tinggi. Konsiderans menimbang huruf a secara eksplisit merujuk pada Pasal 70 ayat (1) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 29 Tahun 2018, yang memberikan mandat kepada Menteri Perindustrian untuk melaksanakan penghitungan dan verifikasi besaran nilai TKDN dan nilai BMP melalui suatu proses sertifikasi.4 PP No. 29 Tahun 2018 itu sendiri merupakan peraturan pelaksana dari Undang-Undang (UU) No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian.3 Rantai hierarki ini sangat esensial dalam menilai legalitas tindakan Menteri dalam menerbitkan peraturan ini, yang secara keseluruhan bertujuan untuk melaksanakan amanat program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN). Penting untuk dicatat bahwa UU No. 3 Tahun 2014 telah mengalami perubahan signifikan melalui kerangka hukum Cipta Kerja.22 Meskipun mandat inti P3DN tetap dipertahankan, kerangka Cipta Kerja mengubah lanskap perizinan usaha secara fundamental, beralih ke pendekatan berbasis risiko (Perizinan Berusaha Berbasis Risiko ).23 PERMENPERIN 35/2025 secara jelas merefleksikan perubahan ini dengan berulang kali menjadikan pemenuhan komitmen "Perizinan Berusaha" sebagai prasyarat untuk pengajuan permohonan sertifikasi TKDN, sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (2).1 | 二、法律层级框架与条例有效性 A. 授权依据 PERMENPERIN 35/2025是一项执行条例,其有效性取决于上级法规的合法授权。考虑部分a项明确引用了2018年第29号政府条例(PP)第70条第(1)款,该款授权工业部长通过认证程序实施TKDN值和BMP值的计算与核查。⁴ 2018年第29号政府条例本身是关于工业的2014年第3号法律(UU)的执行条例。³ 这一层级链条对于评估部长发布此条例行为的合法性至关重要,该条例整体上旨在执行增加使用国内产品计划(P3DN)的授权。值得注意的是,2014年第3号法律通过创造就业法律框架经历了重大变革。²² 尽管P3DN的核心授权得以保留,但创造就业框架从根本上改变了商业许可的格局,转向了基于风险的方法(基于风险的商业许可)。²³ PERMENPERIN 35/2025明确反映了这一变化,多次将履行“商业许可”承诺作为提交TKDN认证申请的先决条件,如第27条第(2)款所规定。¹ | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
B. Potential for Ultra Vires and Limitations of Ministerial Authority Although PP No. 29 of 2018 provides a general mandate for TKDN and BMP certification, the highly detailed, prescriptive, and innovative methodology introduced in PERMENPERIN 35/2025 could potentially be challenged on the grounds of an act beyond the scope of authority (ultra vires). For example, the establishment of a highly complex BMP calculation scheme with 15 different determining factors (as stipulated in Article 21) and the addition of an "intellectual capability (brainware)" value (Articles 10 and 11) constitute new norms not explicitly detailed in the PP as its parent regulation.¹ An interested party could argue that such a fundamental and complex policy instrument should be regulated at the Government Regulation level, not merely at the Ministerial Regulation level, to ensure a more solid legal foundation and broader inter-ministerial participation. Furthermore, the introduction of the BMP concept, with its broad socio-economic criteria such as the implementation of ESG (environment social governance), adoption of Industry 4.0, and partnerships with small industries, substantively transforms the TKDN Certificate from a mere technical measure of local content into a government-endorsed "scorecard" of a company's holistic contribution. This expansion of scope is legally contestable. Law No. 3 of 2014 and PP No. 29 of 2018 focus on "Industrial Empowerment" and "Increased Use of Domestic Products".³ The essence of that mandate is the origin and content of the product. However, through the BMP in Article 21, PERMENPERIN 35/2025 introduces criteria far removed from the product itself, such as "ownership of awards" and "compliance in reporting industrial data to SIINas".¹ This shift in focus can be argued to have exceeded the legislative intent of the higher laws and regulations, which aimed to empower industry through the promotion of domestic products, not to create a parallel system for rewarding general corporate behavior. Therefore, a lawsuit could be filed on the grounds that the Minister has exceeded the authority delegated to him by creating a new regulatory instrument (BMP as a corporate scorecard) that was not explicitly mandated by the regulations above it. | B. Potensi Ultra Vires dan Batasan Kewenangan Menteri Meskipun PP No. 29 Tahun 2018 memberikan mandat umum untuk sertifikasi TKDN dan BMP, metodologi yang sangat detail, preskriptif, dan inovatif yang diperkenalkan dalam PERMENPERIN 35/2025 berpotensi untuk digugat atas dasar tindakan yang melampaui batas kewenangan (ultra vires). Sebagai contoh, pembentukan skema penghitungan BMP yang sangat kompleks dengan 15 faktor penentu yang berbeda (sebagaimana diatur dalam Pasal 21) dan penambahan nilai "kemampuan intelektual (brainware)" (Pasal 10 dan 11) merupakan norma-norma baru yang tidak dirinci secara eksplisit dalam PP sebagai peraturan induknya.1 Pihak yang berkepentingan dapat mengajukan argumen hukum bahwa instrumen kebijakan yang fundamental dan kompleks seperti ini seharusnya diatur pada level Peraturan Pemerintah, bukan hanya pada level Peraturan Menteri, untuk menjamin adanya landasan hukum yang lebih kokoh dan partisipasi antar-kementerian yang lebih luas. Lebih jauh, pengenalan konsep BMP, dengan kriteria sosio-ekonomi yang luas seperti penerapan ESG ( environment social governance ), adopsi Industri 4.0, dan kemitraan dengan industri kecil, secara substantif mengubah Sertifikat TKDN dari sekadar ukuran teknis kandungan lokal menjadi sebuah "kartu skor" yang disahkan oleh pemerintah atas kontribusi holistik sebuah perusahaan. Perluasan lingkup ini dapat diperdebatkan secara hukum. UU No. 3 Tahun 2014 dan PP No. 29 Tahun 2018 berfokus pada "Pemberdayaan Industri" dan "Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri".3 Esensi dari mandat tersebut adalah asal-usul dan kandungan produk. Namun, melalui BMP dalam Pasal 21, PERMENPERIN 35/2025 memperkenalkan kriteria yang jauh dari produk itu sendiri, seperti "kepemilikan penghargaan" dan "kepatuhan pelaporan data Industri pada SIINas".1 Pergeseran fokus ini dapat diargumentasikan telah melampaui maksud legislatif (legislative intent) dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yang bertujuan memberdayakan industri melalui promosi produk dalam negeri, bukan menciptakan sistem paralel untuk memberikan penghargaan atas perilaku korporasi secara umum. Oleh karena itu, sebuah gugatan dapat diajukan dengan dasar bahwa Menteri telah melampaui wewenang yang didelegasikan kepadanya dengan menciptakan instrumen regulasi baru (BMP sebagai kartu skor korporasi) yang tidak secara eksplisit diamanatkan oleh peraturan di atasnya. | B. 潜在的越权行为与部长权限的限制 尽管2018年第29号政府条例为TKDN和BMP认证提供了总体授权,但PERMENPERIN 35/2025中引入的高度详细、规定性和创新性的方法论,可能因超越权限(ultra vires)而被起诉。例如,建立一个包含15个不同决定因素(如第21条所规定)的高度复杂的BMP计算方案,以及增加“智力能力(脑件)”价值(第10和11条),构成了其上级法规PP中未明确详述的新规范。¹ 利益相关方可提出法律论点,认为如此基础且复杂的政策工具应在政府条例层面进行规定,而不仅仅是在部长条例层面,以确保更坚实的法律基础和更广泛的跨部门参与。此外,BMP概念的引入,及其广泛的社会经济标准,如实施ESG(环境、社会和治理)、采纳工业4.0、以及与小工业的合作,实质上将TKDN证书从一个单纯衡量本地含量的技术指标,转变为一个政府认可的、评估公司整体贡献的“记分卡”。这种范围的扩大在法律上是可争议的。2014年第3号法律和2018年第29号政府条例的重点是“工业赋能”和“增加使用国内产品”。³ 该授权的本质是产品的来源和内容。然而,通过第21条中的BMP,PERMENPERIN 35/2025引入了与产品本身相去甚远的评判标准,例如“拥有奖项”和“向SIINas报告工业数据的合规性”。¹ 这种焦点的转移可被认为超越了上级法律法规的立法意图,后者的目的是通过推广国内产品来赋能工业,而不是创建一个平行的系统来奖励一般的企业行为。因此,可以提起诉讼,理由是部长通过创建一个未经上级法规明确授权的新监管工具(BMP作为企业记分卡),从而超越了授予给他的权限。 | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
III. IN-DEPTH ANALYSIS OF THE KEY PROVISIONS OF PERMENPERIN NO. 35 OF 2025
A. New Calculation Methodology: Complexity and Ambiguity
TKDN for Goods: The shift to a calculation model based on weighted factors of production (materials 75%, labor 10%, and indirect factory costs 15%) as stipulated in Article 4, although seemingly objective, contains significant ambiguity.¹ The determination of "main components" is delegated to the Director General through further stipulation (Article 5 paragraph (3)), which creates the potential for inconsistency, lack of transparency, and legal uncertainty for business actors.¹ Furthermore, the tiered calculation mechanism for components based on their own TKDN value (Article 5 paragraph (2)) creates a complex cascading dependency that is difficult to audit and verify, thereby increasing the risk of calculation errors and potential disputes.¹⁸ Company Benefit Weight (BMP): The calculation of the BMP value based on Article 21 is a primary source of potential legal disputes.¹ Of the 15 stipulated factors, many are qualitative and highly dependent on discretionary assessment. Criteria such as "Pioneer Industry" status (Article 21 paragraph (1) letter d) or proof that the business actor has "made efforts to implement green industry" (Appendix V, letter j, number 3) lack objective and measurable metrics.¹ This opens the door for arbitrary and inconsistent application by Independent Verification Institutions (LVI) as well as the Ministry. Such subjectivity is a classic basis for challenging a state administrative decision for violating the Principle of Legal Certainty and the Principle of Prohibition of Arbitrariness, which are part of the General Principles of Good Governance (AAUPB). Additional Brainware Value: The potential addition of a 20% value for "intellectual capability (brainware)" under Articles 10 and 11 introduces a further layer of subjectivity.¹ Criteria such as the "availability of research and development programs" are highly dependent on documentary evidence that can be interpreted differently, which can ultimately lead to disputes over the assessment conducted by the LVI.¹ |
III. ANALISIS MENDALAM TERHADAP KETENTUAN POKOK PERMENPERIN NO. 35 TAHUN 2025
A. Metodologi Baru Penghitungan: Kompleksitas dan Ambiguitas
TKDN Barang: Peralihan ke model penghitungan berbasis faktor produksi dengan bobot (bahan/material 75%, tenaga kerja 10%, dan biaya tidak langsung pabrik 15%) sebagaimana diatur dalam Pasal 4, meskipun tampak objektif, mengandung ambiguitas yang signifikan.1 Penentuan "komponen utama" didelegasikan kepada Direktur Jenderal melalui penetapan lebih lanjut (Pasal 5 ayat (3)), yang menciptakan potensi inkonsistensi, kurangnya transparansi, dan ketidakpastian hukum bagi pelaku usaha.1 Selain itu, mekanisme penghitungan berjenjang untuk komponen yang didasarkan pada nilai TKDN komponen itu sendiri (Pasal 5 ayat (2)) menciptakan suatu ketergantungan berantai (cascading dependency) yang rumit untuk diaudit dan diverifikasi, sehingga meningkatkan risiko kesalahan penghitungan dan potensi sengketa.¹⁸ Bobot Manfaat Perusahaan (BMP): Penghitungan nilai BMP berdasarkan Pasal 21 merupakan sumber utama potensi sengketa hukum.1 Dari 15 faktor yang diatur, banyak di antaranya bersifat kualitatif dan sangat bergantung pada penilaian diskresioner. Kriteria seperti status "Industri pionir" (Pasal 21 ayat (1) huruf d) atau pembuktian bahwa pelaku usaha telah "melakukan upaya penerapan Industri hijau" (Lampiran V, huruf j, angka 3) tidak memiliki metrik yang objektif dan terukur.1 Hal ini membuka ruang bagi penerapan yang arbitrer dan tidak konsisten oleh Lembaga Verifikasi Independen (LVI) maupun Kementerian. Subjektivitas semacam ini merupakan dasar klasik untuk menggugat suatu keputusan tata usaha negara karena melanggar Asas Kepastian Hukum dan Asas Larangan Bertindak Sewenang-wenang, yang merupakan bagian dari Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB). Tambahan Nilai Brainware: Potensi penambahan nilai sebesar 20% untuk "kemampuan intelektual (brainware)" berdasarkan Pasal 10 dan 11 memperkenalkan lapisan subjektivitas lebih lanjut.1 Kriteria seperti "ketersediaan program penelitian dan pengembangan" sangat bergantung pada bukti dokumenter yang dapat diinterpretasikan secara berbeda, yang pada akhirnya dapat menimbulkan sengketa atas penilaian yang dilakukan oleh LVI.1 |
三、对PERMENPERIN 2025年第35号关键条款的深入分析
A. 新计算方法:复杂性与模糊性
货物TKDN: 如第4条所规定,转向基于加权生产要素(材料75%,劳动力10%,间接工厂成本15%)的计算模型,尽管看似客观,但含有显著的模糊性。¹ “主要部件”的确定通过进一步规定(第5条第(3)款)授权给总司长,这为商业参与者带来了不一致、缺乏透明度和法律不确定性的可能性。¹ 此外,基于部件自身TKDN值的 tiered 计算机制(第5条第(2)款)创建了一个复杂的级联依赖关系,难以审计和核实,从而增加了计算错误和潜在争议的风险。¹⁸ 公司效益权重(BMP): 基于第21条的BMP值计算是潜在法律争议的主要来源。¹ 在规定的15个因素中,许多是定性的,并且高度依赖于自由裁量评估。诸如“先锋产业”地位(第21条第(1)款d项)或证明商业参与者已“努力实施绿色产业”(附录V,j项,第3号)等标准,缺乏客观和可衡量的指标。¹ 这为独立验证机构(LVI)以及该部委的任意和不一致的适用打开了大门。这种主观性是挑战国家行政决定违反法律确定性原则和禁止任意行为原则的经典依据,这些原则是良好政府治理一般原则(AAUPB)的一部分。 额外的“脑件”价值: 根据第10和11条,为“智力能力(脑件)”增加20%的价值,引入了另一层主观性。¹ 诸如“研发项目的可用性”等标准高度依赖于可被不同解释的文件证据,这最终可能导致对LVI进行的评估产生争议。¹ |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
B. The Role, Authority, and Legal Liability of Independent Verification Institutions (LVI) This regulation formally positions the LVI as a central actor in the administrative process of certification (Article 24).¹ However, the most legally significant clause is found in Article 36, which states: "The LVI is fully responsible for the verification report on the TKDN value and/or BMP value that has been issued". This clause is a very important legal development. Article 36 effectively transforms the status of the LVI from a mere technical consultant into an entity that bears direct legal liability for its work product, which becomes the basis for the issuance of a public official's decision. This opens the possibility for business actors who are aggrieved by an erroneous verification result not only to sue the Ministry at the PTUN for the administrative decision issued, but also to sue the LVI directly in the district court on the grounds of an unlawful act (onrechtmatige daad) as stipulated in Article 1365 of the Civil Code, by alleging professional negligence. The legal rationale is as follows: The State delegates a public function (verification for certification) to a private entity (LVI) through appointment by the Minister (Article 24).¹ The verification report issued by the LVI becomes the necessary basis for the official at the Ministry to issue or refuse to issue a certificate (Articles 37 and 39).¹ Article 36 explicitly attaches "full responsibility" to the LVI. If the LVI's negligence—for example, calculation errors, misinterpretation of evidence, or unreasonable application of subjective criteria—leads to the issuance of a flawed report, which in turn causes the Ministry to issue a detrimental decision (e.g., a lower TKDN value than deserved or an unfounded sanction), the business actor will suffer direct financial and reputational losses. This loss is a direct causal consequence of the LVI's act or omission. Thus, all elements of an unlawful act are met: the existence of a legal duty (to conduct verification professionally), a breach of that duty (negligence), a causal link, and damages. Consequently, a business actor can apply a dual-track litigation strategy: suing the State Administrative Decree (KTUN) at the PTUN, and in parallel, filing a civil lawsuit against the LVI to claim damages. | B. Peran, Kewenangan, dan Tanggung Jawab Hukum Lembaga Verifikasi Independen (LVI) Peraturan ini secara formal menempatkan LVI sebagai aktor sentral dalam proses administrasi sertifikasi (Pasal 24).1 Namun, klausul yang paling signifikan secara hukum terdapat dalam Pasal 36, yang menyatakan: "LVI bertanggung jawab penuh atas laporan hasil verifikasi nilai TKDN dan/atau nilai BMP yang telah diterbitkan ". Klausul ini merupakan suatu perkembangan hukum yang sangat penting. Pasal 36 secara efektif mentransformasi status LVI dari sekadar konsultan teknis menjadi entitas yang memikul tanggung jawab hukum langsung atas produk kerjanya, yang menjadi dasar bagi penerbitan keputusan pejabat publik. Hal ini membuka kemungkinan bagi pelaku usaha yang dirugikan oleh hasil verifikasi yang keliru untuk tidak hanya menggugat Kementerian di PTUN atas keputusan administratif yang diterbitkan, tetapi juga menggugat LVI secara langsung di pengadilan negeri atas dasar perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dengan dalil kelalaian profesional (professional negligence). Rasionalitas hukumnya adalah sebagai berikut: Negara mendelegasikan sebuah fungsi publik (verifikasi untuk sertifikasi) kepada sebuah entitas swasta (LVI) melalui penunjukan oleh Menteri (Pasal 24).1 Laporan hasil verifikasi yang diterbitkan oleh LVI menjadi dasar yang niscaya bagi pejabat di Kementerian untuk menerbitkan atau menolak menerbitkan sertifikat (Pasal 37 dan 39).1 Pasal 36 secara eksplisit melekatkan "tanggung jawab penuh" kepada LVI. Apabila kelalaian LVI—misalnya, kesalahan penghitungan, salah tafsir bukti, atau penerapan kriteria subjektif yang tidak wajar—menyebabkan terbitnya laporan yang cacat, yang kemudian mengakibatkan Kementerian menerbitkan keputusan yang merugikan (misalnya, nilai TKDN yang lebih rendah dari seharusnya atau sanksi yang tidak berdasar), maka pelaku usaha akan menderita kerugian finansial dan reputasi secara langsung. Kerugian ini merupakan akibat kausal langsung dari perbuatan atau kelalaian LVI. Dengan demikian, seluruh unsur perbuatan melawan hukum terpenuhi: adanya kewajiban hukum (untuk melakukan verifikasi secara profesional), pelanggaran kewajiban (kelalaian), hubungan kausalitas, dan kerugian. Konsekuensinya, pelaku usaha dapat menerapkan strategi litigasi dua jalur (dual-track litigation): menggugat Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) di PTUN, dan secara paralel mengajukan gugatan perdata terhadap LVI untuk menuntut ganti rugi. | B. 独立验证机构(LVI)的角色、权限与法律责任 该条例正式将LVI定位为认证行政过程中的核心参与者(第24条)。¹ 然而,最具法律意义的条款见于第36条,该条规定:“LVI对其已发布的关于TKDN值和/或BMP值的验证报告负全部责任”。这一条款是一个非常重要的法律发展。第36条有效地将LVI的地位从一个单纯的技术顾问转变为一个对其工作成果承担直接法律责任的实体,其工作成果成为发布公职人员决定的基础。这为因错误验证结果而受损的商业参与者开启了可能性,他们不仅可以就发布的行政决定向PTUN起诉该部委,还可以依据《民法典》第1365条的规定,以职业过失为由,直接在地方法院以侵权行为(onrechtmatige daad)起诉LVI。法律理据如下:国家通过部长的任命(第24条),将一项公共职能(认证核查)委托给一个私营实体(LVI)。¹ LVI出具的核查报告成为该部官员颁发或拒绝颁发证书的必要依据(第37和39条)。¹ 第36条明确将“全部责任”赋予LVI。如果LVI的过失——例如,计算错误、证据误读、或不合理地应用主观标准——导致出具一份有缺陷的报告,进而导致该部发布一项有害的决定(例如,低于应得的TKDN值或无根据的制裁),则商业参与者将遭受直接的财务和声誉损失。这一损失是LVI行为或不作为的直接因果后果。因此,侵权行为的所有要素均已满足:存在法律义务(专业地进行核查)、违反该义务(过失)、因果关系和损害。因此,商业参与者可以采取双轨诉讼策略:在PTUN就国家行政法令(KTUN)提起诉讼,同时对LVI提起民事诉讼,要求赔偿。 | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
C. Relationship with Sectoral Regulations: A Case Study of the Oil and Gas Sector
The upstream oil and gas sector is a prime example where TKDN policy has long been regulated specifically and separately (lex specialis) from general industrial regulations. This regulation falls under the authority of the Ministry of Energy and Mineral Resources (ESDM) and is implemented by the Special Task Force for Upstream Oil and Gas Business Activities (SKK Migas). The main legal basis for TKDN in the upstream oil and gas sector is Law No. 22 of 2001 concerning Oil and Gas, implemented through Minister of ESDM Regulation Number 15 of 2013. This regulation, along with its technical guidelines like SKK Migas Work Procedure Guideline (PTK) No. 007 Revision 05, establishes a cost-based TKDN calculation methodology. The issuance of PERMENPERIN 35/2025 creates significant potential for regulatory dissonance: Dualism of Calculation Methodologies: Article 71 of PERMENPERIN 35/2025 states that the calculation can be based on this regulation or other ministerial regulations, creating ambiguity. Oil and gas contractors face two different regimes, increasing administrative burden. Imposition of an Unfamiliar BMP Concept: The oil and gas TKDN regime does not recognize BMP. PERMENPERIN 35/2025 could be interpreted as a new obligation for the sector, posing a challenge as BMP criteria may not align with the industry's operational model. Potential Overlap of Verification Authority: TKDN verification in the oil and gas sector is historically coordinated by SKK Migas. PERMENPERIN 35/2025 appoints LVIs under the Ministry of Industry, which could lead to jurisdictional confusion and disputes. Overall, this creates significant legal uncertainty, requiring a coordinating regulation between the ministries to harmonize the regimes. |
C. Hubungan dengan Peraturan Sektoral: Studi Kasus Sektor Minyak dan Gas Bumi (Migas)
Sektor industri hulu minyak dan gas bumi (migas) merupakan contoh utama di mana kebijakan TKDN telah lama diatur secara spesifik dan terpisah (lex specialis) dari peraturan industri umum. Pengaturan ini berada di bawah kewenangan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan diimplementasikan oleh Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Landasan hukum utama untuk TKDN di sektor hulu migas adalah Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Migas, yang diimplementasikan melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 15 Tahun 2013. Peraturan ini, beserta pedoman teknisnya seperti Pedoman Tata Kerja (PTK) SKK Migas No. 007 Revisi 05, menetapkan metodologi penghitungan TKDN yang berbeda, yaitu berdasarkan biaya (cost-based). Penerbitan PERMENPERIN 35/2025 menciptakan potensi disharmoni regulasi yang signifikan: Dualisme Metodologi Penghitungan: Pasal 71 PERMENPERIN 35/2025 menyatakan bahwa penghitungan nilai TKDN dapat dilakukan berdasarkan peraturan ini atau peraturan menteri lain, yang menciptakan ambiguitas. Kontraktor migas dihadapkan pada dua rezim yang berbeda, yang meningkatkan beban administrasi. Imposisi Konsep BMP yang Asing: Rezim TKDN migas tidak mengenal konsep Bobot Manfaat Perusahaan (BMP). PERMENPERIN 35/2025 berpotensi ditafsirkan sebagai kewajiban baru bagi industri migas, yang akan menjadi tantangan karena kriteria BMP mungkin tidak selaras dengan model operasional industri. Potensi Tumpang Tindih Kewenangan Verifikasi: Verifikasi TKDN di sektor hulu migas secara historis dikoordinasikan oleh SKK Migas. PERMENPERIN 35/2025 menunjuk LVI di bawah kewenangan Menteri Perindustrian, yang dapat menimbulkan kebingungan yurisdiksi dan sengketa. Secara keseluruhan, hal ini menciptakan ketidakpastian hukum yang signifikan, sehingga diperlukan peraturan koordinasi antar kementerian untuk menyelaraskan kedua rezim tersebut. |
C. 与行业法规的关系:石油和天然气行业的案例研究
上游石油和天然气行业是一个典型例子,其中TKDN政策长期以来都受到与一般工业法规不同且独立的(lex specialis)特定规定。该法规属于能源和矿产资源部(ESDM)的管辖范围,由上游石油和天然气业务活动特别工作组(SKK Migas)执行。上游油气行业TKDN的主要法律依据是关于石油和天然气的2001年第22号法律,通过2013年第15号能源和矿产资源部部长条例实施。该法规及其技术指南,如SKK Migas工作程序指南(PTK)第007号修订版05,确立了一种基于成本的TKDN计算方法。PERMENPERIN 35/2025的发布带来了显著的法规冲突可能性: 计算方法的二元性: PERMENPERIN 35/2025第71条规定,计算可以基于本条例或其他部长级条例,造成了模糊性。油气承包商面临两种不同的制度,增加了行政负担。 引入陌生的BMP概念: 油气TKDN制度不承认BMP概念。PERMENPERIN 35/2025可能被解释为该行业的一项新义务,这将是一个挑战,因为BMP标准可能与该行业的运营模式不符。 核查权限的潜在重叠: 油气行业的TKDN核查历来由SKK Migas协调。PERMENPERIN 35/2025在工业部长权限下任命LVI,这可能导致管辖权混淆和争议。 总体而言,这造成了显著的法律不确定性,需要各部委之间制定协调性法规以统一这两个制度。 |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
IV. POTENTIAL FOR DISHARMONY AND LEGAL VACUUMS
A. Inconsistency with Other Prevailing Regulations
PERMENPERIN 35/2025 risks creating disharmony with the broader legal framework: Potential Conflict with International Trade Law: TKDN policies are inherently protectionist and could conflict with the principle of National Treatment in the GATT/WTO.²⁸ The introduction of BMP, based on criteria not directly related to the product (e.g., brand ownership), could be considered a form of non-tariff discrimination and become the basis for international trade disputes.²⁸ Disharmony with Government Procurement Regulations: Existing regulations for government procurement have a price preference mechanism for domestic products. PERMENPERIN 35/2025 introduces a more complex combined assessment system (TKDN + BMP).¹ It is unclear how this combined value will be integrated into tender evaluation formulas, potentially creating confusion and inconsistency.¹⁹ |
IV. POTENSI KETIDAKHARMONISAN DAN KEKOSONGAN HUKUM
A. Inkonsistensi dengan Peraturan Lain yang Berlaku
PERMENPERIN 35/2025 juga berisiko menimbulkan ketidakharmonisan dengan kerangka hukum yang lebih luas: Potensi Konflik dengan Hukum Perdagangan Internasional: Kebijakan TKDN secara inheren bersifat proteksionis dan berpotensi bertentangan dengan prinsip National Treatment dalam GATT/WTO.²⁸ Pengenalan BMP, yang memberikan nilai berdasarkan kriteria yang tidak terkait langsung dengan produk (misalnya, kepemilikan merek), dapat dianggap sebagai bentuk diskriminasi non-tarif dan dapat menjadi dasar sengketa dagang internasional.²⁸ Disharmoni dengan Peraturan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah: Peraturan Presiden tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah telah memiliki mekanisme preferensi harga. PERMENPERIN 35/2025 memperkenalkan sistem penilaian gabungan (TKDN + BMP) yang lebih kompleks.¹ Belum ada kejelasan bagaimana nilai gabungan ini akan diintegrasikan ke dalam formula evaluasi tender, yang berpotensi menciptakan kebingungan dan inkonsistensi.¹⁹ |
四、潜在的法规冲突与法律真空
A. 与其他现行法规的不一致
PERMENPERIN 35/2025还可能与更广泛的法律框架产生冲突: 与国际贸易法的潜在冲突: TKDN政策本质上是保护主义的,可能与GATT/WTO中的国民待遇原则相冲突。²⁸ BMP的引入,基于与产品不直接相关的标准(如品牌所有权),可被视为一种非关税歧视,并可能成为国际贸易争端的基础。²⁸ 与政府采购法规的冲突: 现有的政府采购法规已设有价格优惠机制。PERMENPERIN 35/2025引入了更复杂的综合评估体系(TKDN + BMP)。¹ 目前尚不清楚这一综合价值将如何整合到招标评估公式中,可能导致混乱和不一致。¹⁹ |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
B. Ambiguity and Internal Normative Gaps
The regulation contains several normative gaps (legal vacuums): Delegation of Technical Regulation without a Time Limit: The regulation delegates crucial technical provisions to echelon I officials (e.g., Article 5 paragraph (3)) without setting a deadline for issuance. This creates a legal vacuum, leaving businesses without clear guidance.¹ Ambiguous Definitions of Key Terms: Terms crucial for BMP assessment, such as "Pioneer Industry" (Article 21) and "efforts to implement green industry" (Appendix V), are not clearly defined, leaving them open to subjective interpretation and inconsistent application.¹ Absence of a Self-Declare Mechanism for Medium Industries: While Article 26 provides a self-declaration mechanism for Small Industries, there is no similar or simplified mechanism for medium industries, creating a policy vacuum and a disproportionate administrative burden.¹ |
B. Ketidakjelasan dan Kekosongan Norma Internal
PERMENPERIN 35/2025 mengandung beberapa kekosongan norma (legal vacuum): Pendelegasian Pengaturan Teknis Tanpa Batas Waktu: Peraturan ini mendelegasikan beberapa ketentuan teknis yang krusial kepada pejabat eselon I (contoh: Pasal 5 ayat (3)) tanpa menetapkan batas waktu penerbitan. Hal ini menciptakan kekosongan hukum yang membuat pelaku usaha tidak memiliki panduan yang jelas.¹ Definisi Istilah Kunci yang Ambigu: Beberapa istilah yang menjadi dasar penilaian BMP, seperti "Industri pionir" (Pasal 21) dan "upaya penerapan Industri hijau" (Lampiran V), tidak didefinisikan secara jelas, sehingga sangat terbuka untuk interpretasi subjektif dan penerapan yang tidak konsisten.¹ Ketiadaan Mekanisme Self-Declare untuk Industri Menengah: Pasal 26 secara khusus memberikan kemudahan self-declare untuk Industri Kecil, namun tidak ada mekanisme serupa untuk industri menengah. Hal ini menciptakan kekosongan kebijakan dan beban administrasi yang tidak proporsional.¹ |
B. 内部规范的模糊性与空白
该法规包含若干规范空白(法律真空): 无时间限制的技术规定授权: 该法规将关键技术条款授权给一级官员(例如第5条第(3)款),但未设定发布截止日期。这造成了法律真空,使企业缺乏明确指导。¹ 关键术语定义模糊: 对BMP评估至关重要的术语,如“先锋产业”(第21条)和“努力实施绿色产业”(附录V),没有明确定义,导致主观解释和不一致的应用。¹ 中型企业缺乏自我声明机制: 虽然第26条为小型工业提供了自我声明机制,但没有为中型企业提供类似或简化的机制,造成了政策真空和不成比例的行政负担。¹ |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
V. ANALYSIS FROM THE PERSPECTIVES OF CONSTITUTIONAL AND ADMINISTRATIVE LAW A. Constitutional Law Perspective The validity of PERMENPERIN 35/2025 is tested on authority and hierarchy. A Minister's authority to issue regulations is derivative, not original. While the regulation formally refers to delegation from a higher regulation (PP No. 29 of 2018), its content arguably exceeds the scope of that delegation (*ultra vires*). The introduction of a fundamental, wide-impact norm like BMP should ideally be regulated at a higher level (Law or Government Regulation) to remain within the corridor set by the President and legislature. | V. ANALISIS DARI PERSPEKTIF HUKUM TATA NEGARA DAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA A. Perspektif Hukum Tata Negara Validitas PERMENPERIN 35/2025 diuji berdasarkan kewenangan dan hierarki. Kewenangan menteri untuk mengeluarkan peraturan bersifat derivatif, bukan asli. Meskipun peraturan ini secara formal merujuk pada pendelegasian dari peraturan yang lebih tinggi (PP No. 29 Tahun 2018), materi muatannya dapat diargumentasikan telah melampaui lingkup pendelegasian tersebut (*ultra vires*). Pengenalan norma baru yang fundamental dan berdampak luas seperti BMP idealnya diatur pada level yang lebih tinggi (UU atau PP) agar tetap berada dalam koridor yang ditetapkan oleh Presiden dan legislatif. | 五、从宪法和国家行政法角度的分析 A. 宪法视角 PERMENPERIN 35/2025的有效性基于权限和等级进行检验。部长发布法规的权力是派生的,而非原始的。虽然该法规正式引用了上级法规(2018年第29号政府条例)的授权,但其内容可被认为超出了授权范围(*ultra vires*)。像BMP这样基础性、影响广泛的新规范,理想情况下应在更高层面(法律或政府条例)进行规定,以保持在总统和立法机构设定的框架内。 | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
B. State Administrative Law Perspective
The regulation is a product of a governmental act (*overheidsdaad*) that gives rise to State Administrative Decrees (KTUN). It provides broad discretion (*freies ermessen*) to the LVI and officials, especially in the qualitative assessment of BMP. Such discretion must not violate the General Principles of Good Governance (AAUPB). Potential Violations of AAUPB: The regulation's ambiguity on BMP criteria could violate the Principle of Legal Certainty. The wide room for interpretation could lead to violations of the Principle of Prohibition of Arbitrariness. Delegation of Public Function: The appointment of a private LVI to perform verification is a delegation of a governmental function. Article 36, which imposes "full responsibility" on the LVI, is crucial as it shifts legal risk from the state to the LVI and opens a new front for civil disputes based on professional negligence.¹ |
B. Perspektif Hukum Administrasi Negara
Peraturan ini adalah produk tindakan pemerintahan (*overheidsdaad*) yang akan melahirkan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). Peraturan ini memberikan ruang diskresi (*freies ermessen*) yang luas kepada LVI dan pejabat, terutama dalam penilaian kualitatif BMP. Diskresi tersebut tidak boleh melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB). Pelanggaran Potensial terhadap AAUPB: Ambiguitas kriteria BMP dapat melanggar Asas Kepastian Hukum. Ruang interpretasi yang lebar dapat menimbulkan pelanggaran terhadap Asas Larangan Bertindak Sewenang-wenang. Pendelegasian Fungsi Publik: Penunjukan LVI swasta untuk melakukan verifikasi adalah bentuk pendelegasian fungsi pemerintahan. Pasal 36, yang menyatakan "tanggung jawab penuh" LVI, merupakan titik krusial yang menggeser risiko hukum dari negara ke LVI dan membuka front sengketa perdata baru atas dasar kelalaian profesional.¹ |
B. 国家行政法视角
该法规是政府行为(*overheidsdaad*)的产物,并将产生国家行政决定(KTUN)。它赋予LVI和官员广泛的自由裁量权(*freies ermessen*),尤其是在BMP的定性评估中。这种自由裁量权不得违反良好政府治理一般原则(AAUPB)。 可能违反AAUPB的情况: 该法规在BMP标准上的模糊性可能违反法律确定性原则。广泛的解释空间可能导致违反禁止任意行为原则。 将公共职能委托给私营方: 任命私营LVI进行核查是将政府职能委托出去的一种形式。第36条规定了LVI的“全部责任”,这是一个关键点,将法律风险从国家转移到LVI,并为基于职业过失的民事争议开辟了新战线。¹ |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
VI. POTENTIAL ADMINISTRATIVE DISPUTES AND LITIGATION STRATEGIES
A. Identification of Objects of Dispute in the State Administrative Court (PTUN)
A lawsuit in the PTUN requires a valid State Administrative Decree (KTUN). Several actions under this regulation qualify as KTUNs:¹ • **Rejection of Application** (Art. 30, 42). • **Issuance of a TKDN Certificate with a Detrimental Value** (Art. 39, 42). A lower value directly harms competitiveness.¹⁸ • **Imposition of Administrative Sanctions** such as suspension, revocation, or blacklisting (Art. 66). |
VI. POTENSI SENGKETA ADMINISTRASI DAN STRATEGI LITIGASI
A. Identifikasi Objek Sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)
Gugatan di PTUN mensyaratkan adanya Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang sah. Beberapa tindakan di bawah peraturan ini memenuhi kualifikasi sebagai KTUN:¹ • **Penolakan Permohonan** (Pasal 30, 42). • **Penerbitan Sertifikat TKDN dengan Nilai yang Merugikan** (Pasal 39, 42). Nilai yang lebih rendah secara langsung merugikan daya saing.¹⁸ • **Pengenaan Sanksi Administratif** seperti pembekuan, pencabutan, atau daftar hitam (Pasal 66). |
六、潜在的行政争议与诉讼策略
A. 在国家行政法院(PTUN)确定争议标的
在PTUN提起诉讼需要一个有效的国家行政决定(KTUN)。本法规下的若干行为符合KTUN的资格:¹ • **申请被拒**(第30, 42条)。 • **颁发价值不利的TKDN证书**(第39, 42条)。较低的价值直接损害竞争力。¹⁸ • **施加行政制裁**,如暂停、撤销或列入黑名单(第66条)。 |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
B. Potential Grounds for Lawsuit and Violations of AAUPB
The strongest grounds for a lawsuit is violation of the General Principles of Good Governance (AAUPB). Potential arguments include: • **Violation of the Principle of Legal Certainty** due to ambiguous BMP criteria (Art. 21). • **Violation of the Principle of Prohibition of Abuse of Authority** if discretionary elements are used to favor one company.⁴² • **Violation of the Principle of Proportionality** if sanctions are disproportionate to the violation (e.g., blacklisting for a minor error).¹ • **Violation of the Principle of Carefulness** if the LVI or Ministry fails to examine all evidence properly. |
B. Dasar Gugatan Potensial dan Pelanggaran Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB)
Dasar gugatan yang paling kuat adalah pelanggaran terhadap Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB). Potensi argumen meliputi: • **Pelanggaran Asas Kepastian Hukum** karena kriteria BMP yang ambigu (Pasal 21). • **Pelanggaran Asas Larangan Penyalahgunaan Wewenang** jika elemen diskresioner digunakan untuk menguntungkan satu perusahaan.⁴² • **Pelanggaran Asas Keseimbangan** jika sanksi tidak proporsional dengan pelanggaran (misalnya, daftar hitam untuk kesalahan kecil).¹ • **Pelanggaran Asas Kecermatan** jika LVI atau Kementerian gagal memeriksa semua bukti dengan cermat. |
B. 潜在诉讼理由与违反AAUPB
最有力的诉讼理由是违反良好政府治理一般原则(AAUPB)。潜在的论点包括: • 因BMP标准模糊而违反法律确定性原则(第21条)。 • 如果利用自由裁量要素偏袒某家公司,则违反禁止滥用职权原则。⁴² • 如果制裁与违规行为不成比例(例如,因轻微错误而被列入黑名单),则违反比例原则。¹ • 如果LVI或该部未能妥善审查所有证据,则违反审慎原则。 |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
C. Analysis of Objection and Administrative Remedy Mechanisms A crucial question is whether the "objection" mechanism in Article 59 constitutes a mandatory administrative remedy that must be exhausted before filing a lawsuit. Procedural law requires exhausting such remedies if they are explicitly provided. However, the mechanism in Article 59 is described as an "evaluation" rather than a formal dispute adjudication, lacking clear procedures or deadlines. It likely does not qualify as a mandatory remedy but an optional internal review.¹ The strategic implication is significant: to be safe, a business actor should file a lawsuit at the PTUN within the 90-day statute of limitations,⁵⁰ and not wait for the outcome of the internal evaluation, which does not suspend the deadline. | C. Analisis Mekanisme Keberatan dan Upaya Administratif Pertanyaan krusial adalah apakah mekanisme "keberatan" dalam Pasal 59 merupakan upaya administratif wajib yang harus ditempuh sebelum mengajukan gugatan. Hukum acara mengharuskan penempuhan upaya tersebut jika diatur secara eksplisit. Namun, mekanisme dalam Pasal 59 lebih digambarkan sebagai "evaluasi" daripada ajudikasi sengketa formal, tanpa prosedur atau batas waktu yang jelas. Kemungkinan besar ini bukan merupakan upaya administratif wajib, melainkan proses peninjauan internal yang opsional.¹ Implikasi strategisnya sangat penting: untuk aman, pelaku usaha harus segera mendaftarkan gugatan ke PTUN dalam daluwarsa 90 hari,⁵⁰ dan tidak menunggu hasil evaluasi internal yang tidak menangguhkan batas waktu. | C. 异议与行政救济机制分析 一个关键问题是,第59条中的“异议”机制是否构成在提起诉讼前必须用尽的强制性行政救济。程序法要求,如果明确规定了此类救济途径,则必须首先用尽。然而,第59条中的机制被描述为“评估”而非正式的争议裁决,缺乏明确的程序或截止日期。它很可能不符合强制性救济的资格,而是一个可选的内部审查。¹ 战略意义重大:为安全起见,商业参与者应在90天的法定时效内向PTUN提起诉讼,⁵⁰ 而不是等待不中止期限的内部评估结果。 | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
D. Matrix of Potential Administrative Disputes
|
D. Matriks Potensi Sengketa Administratif
|
D. 潜在行政争议矩阵
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
VII. STRATEGIC RECOMMENDATIONS
A. Proactive Risk Mitigation
Documentation Rigor: Businesses must maintain a comprehensive and organized archive of evidence for all TKDN and BMP criteria, treating it as a case file (*dossier*) from day one.¹ LVI Engagement Strategy: Engage proactively with the LVI before and during verification. Document all interactions to build a record of good faith. |
VII. REKOMENDASI STRATEGIS
A. Mitigasi Risiko Proaktif
Rigoritas Dokumentasi: Pelaku usaha harus memelihara arsip bukti yang komprehensif dan terorganisir untuk semua kriteria TKDN dan BMP, dan menganggapnya sebagai berkas perkara (*dossier*) sejak awal.¹ Strategi Keterlibatan dengan LVI: Terlibat secara proaktif dengan LVI sebelum dan selama verifikasi. Dokumentasikan semua interaksi untuk membangun rekam jejak itikad baik. |
七、战略建议
A. 主动风险缓解
文件严谨性: 企业必须为所有TKDN和BMP标准维护全面且有组织的证据档案,从一开始就将其视为案件档案(*dossier*)。¹ 与LVI的互动策略: 在核查之前和期间主动与LVI互动。记录所有互动以建立诚信记录。 |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
B. Dispute Resolution Framework
Immediate Legal Assessment: Upon receiving a detrimental KTUN, immediately begin counting the 90-day deadline for filing a lawsuit at the PTUN.⁵⁰ Do not assume the internal "objection" process suspends this deadline. Dual-Track Approach: Consider filing a formal lawsuit at the PTUN to secure legal rights while simultaneously pursuing the internal "objection" process under Article 59.¹ Consider Civil Lawsuit against LVI: In cases of clear negligence by the LVI causing significant financial loss, evaluate the strategic benefit of a parallel civil lawsuit based on the "full responsibility" clause in Article 36.¹ |
B. Kerangka Kerja Penyelesaian Sengketa
Penilaian Hukum Segera: Setelah menerima KTUN yang merugikan, segera hitung mundur tenggat waktu 90 hari untuk mengajukan gugatan ke PTUN.⁵⁰ Jangan berasumsi proses "keberatan" internal akan menangguhkan tenggat waktu ini. Pendekatan Dua Jalur: Pertimbangkan untuk mendaftarkan gugatan formal ke PTUN untuk mengamankan hak hukum sambil secara bersamaan menempuh jalur "keberatan" internal berdasarkan Pasal 59.¹ Pertimbangkan Gugatan Perdata terhadap LVI: Dalam kasus kelalaian LVI yang jelas dan mengakibatkan kerugian finansial yang signifikan, evaluasi manfaat strategis dari gugatan perdata paralel berdasarkan klausul "tanggung jawab penuh" dalam Pasal 36.¹ |
B. 争议解决框架
立即进行法律评估: 收到不利的KTUN后,立即开始计算向PTUN提起诉讼的90天期限。⁵⁰ 不要假设内部“异议”程序会中止此期限。 双轨方法: 考虑在提起正式诉讼以确保合法权利的同时,根据第59条寻求内部“异议”程序。¹ 考虑对LVI提起民事诉讼: 在LVI有明显过失导致重大经济损失的情况下,根据第36条中的“全部责任”条款,评估并行民事诉讼的战略效益。¹ |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
VIII. LIST OF LEGAL SOURCES
Laws and Regulations
|
VIII. DAFTAR SUMBER HUKUM
Peraturan Perundang-undangan
|
八、法律渊源清单
法律法规
|
-
Bilingual Regulation
Peraturan OJK No. 44 tahun 2024 – Bilingual – Indonesia-English Version – Rahasia Bank
Rp400,000.00Original price was: Rp400,000.00.Rp100,000.00Current price is: Rp100,000.00.
Link to ESDM Regulation below in blue (click)
Contact us should you have any further queries
via Whatsapp (call or chat), or email contact@andzaribrahim.com
