MEMORANDUM HUKUM
Analisis Yuridis Komprehensif atas Peraturan Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala BKPM No. 5 Tahun 2025 tentang Pedoman Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dan Fasilitas Penanaman Modal
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang dan Konteks Regulasi
Memorandum ini menyajikan analisis yuridis mendalam terhadap Peraturan Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 5 Tahun 2025 tentang Pedoman dan Tata Cara Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dan Fasilitas Penanaman Modal Melalui Sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (Online Single Submission) ("Permen Investasi 5/2025").1 Regulasi ini merupakan manifestasi puncak dari agenda reformasi struktural pemerintah Indonesia yang diinisiasi melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang ("UU Cipta Kerja").1
Permen Investasi 5/2025 berfungsi sebagai peraturan pelaksana teknis utama dari Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko ("PP 28/2025"), yang secara fundamental merevisi dan menggantikan kerangka hukum sebelumnya yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021.1 Dengan demikian, Permen Investasi 5/2025 tidak dapat dipandang sebagai peraturan yang berdiri sendiri, melainkan sebagai kulminasi dari upaya multi-tahun untuk menyederhanakan, menyelaraskan, dan mengintegrasikan ekosistem perizinan investasi di Indonesia di bawah satu platform digital terpusat, yaitu sistem Online Single Submission (OSS). Tujuan utamanya adalah menciptakan kepastian hukum dan kemudahan berusaha yang lebih besar bagi para investor.
B. Tujuan dan Ruang Lingkup Memorandum
Tujuan dari memorandum ini adalah untuk menyediakan analisis hukum yang komprehensif dan akademis atas Permen Investasi 5/2025. Ruang lingkup analisis mencakup: (i) pemeriksaan terperinci atas ketentuan-ketentuan substantifnya, termasuk jenis entitas, ketentuan permodalan, dan aspek komersial; (ii) analisis kritis terhadap perubahan-perubahan fundamental dari rezim regulasi sebelumnya; dan (iii) elaborasi mengenai implikasi strategis bagi pelaku usaha, baik yang baru akan berinvestasi maupun yang telah beroperasi di Indonesia.
II. ANALISIS FAKTA-FAKTA KUNCI DAN ISU HUKUM
A. Kedudukan Hukum dan Kerangka Regulasi
Kedudukan hukum Permen Investasi 5/2025 diperkuat oleh landasan yuridis yang komprehensif, sebagaimana tercermin dalam konsiderans "Mengingat".1 Analisis terhadap bagian ini memetakan hierarki peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar kewenangannya, mulai dari Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, UU Cipta Kerja, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, hingga PP 28/2025 sebagai peraturan pelaksana utamanya.1
Pencantuman serangkaian Peraturan Menteri Keuangan yang ekstensif—mencakup fasilitas pembebasan bea masuk, fasilitas Pajak Penghasilan (tax holiday dan tax allowance), serta perlakuan perpajakan di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan Ibu Kota Nusantara (IKN)—merupakan sinyal kuat atas upaya harmonisasi yang disengaja antara proses perizinan melalui sistem OSS dengan prosedur pengajuan fasilitas fiskal dan kepabeanan.1 Hal ini menandai pergeseran paradigma, di mana sistem OSS tidak lagi hanya berfungsi sebagai portal perizinan, tetapi diposisikan sebagai gerbang utama (primary interface) bagi investor untuk seluruh interaksi material dengan pemerintah terkait persetujuan investasi, termasuk insentif fiskal.
B. Konsolidasi Regulasi: Implikasi Yuridis Pencabutan Peraturan BKPM No. 3, 4, dan 5 Tahun 2021
Pasal 398 Permen Investasi 5/2025 secara eksplisit mencabut dan menyatakan tidak berlaku tiga peraturan fundamental yang sebelumnya menopang sistem OSS Berbasis Risiko 1:
- Peraturan BKPM Nomor 3 Tahun 2021 tentang Sistem Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Terintegrasi Secara Elektronik.2 Peraturan ini sebelumnya berfungsi sebagai cetak biru teknis yang mengatur arsitektur, infrastruktur, dan interoperabilitas Sistem OSS itu sendiri.
- Peraturan BKPM Nomor 4 Tahun 2021 tentang Pedoman dan Tata Cara Pelayanan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dan Fasilitas Penanaman Modal.4 Ini adalah peraturan prosedural utama yang memandu pelaku usaha dan aparat pemerintah dalam alur pengajuan perizinan dan fasilitas investasi.
- Peraturan BKPM Nomor 5 Tahun 2021 tentang Pedoman dan Tata Cara Pengawasan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.7 Peraturan ini secara spesifik mengatur kerangka kerja pengawasan pasca-penerbitan izin, termasuk kewajiban pelaporan (LKPM), mekanisme inspeksi lapangan, dan prosedur pengenaan sanksi.
Tindakan konsolidasi ini merupakan suatu reformasi struktur hukum yang signifikan. Dengan menyatukan tiga pilar regulasi—arsitektur sistem, prosedur pelayanan, dan mekanisme pengawasan—ke dalam satu instrumen hukum tunggal, pemerintah menciptakan satu sumber hukum prosedural yang otoritatif untuk seluruh siklus hidup perizinan berusaha. Langkah ini secara efektif mengeliminasi potensi ambiguitas, tumpang tindih, dan kesenjangan koordinasi yang sebelumnya dapat timbul dari kerangka kerja yang terfragmentasi. Implikasi lebih lanjut dari konsolidasi ini adalah penguatan peran sentral Kementerian Investasi/BKPM dalam mendikte proses end-to-end, yang pada gilirannya mengurangi otonomi prosedural kementerian teknis lain dalam ekosistem OSS.
III. ARGUMENTASI HUKUM DAN ANALISIS MENDALAM
A. Jenis-jenis Entitas yang Diatur
Permen Investasi 5/2025 secara jelas mendefinisikan subjek hukum yang dapat mengajukan permohonan perizinan berusaha. Pasal 23 dan 24 mengkategorikan pemohon ke dalam beberapa jenis entitas utama 1:
- Pelaku Usaha (Pasal 23): Ini adalah kategori utama yang mencakup:
- Orang Perseorangan: Warga Negara Indonesia yang cakap bertindak menurut hukum dan dikategorikan sebagai Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN).1
- Badan Usaha: Entitas yang didirikan di wilayah Indonesia, baik berbentuk badan hukum (seperti Perseroan Terbatas (PT), Koperasi, Perusahaan Umum, BUMDes) maupun tidak berbadan hukum (seperti Persekutuan Komanditer (CV) dan Firma). Badan usaha ini dapat diklasifikasikan sebagai PMDN atau Penanaman Modal Asing (PMA).1
- Badan Usaha Luar Negeri: Badan usaha asing yang didirikan di luar Indonesia dan melakukan kegiatan usaha spesifik di sektor hulu minyak dan gas bumi atau transportasi udara. Entitas ini dikategorikan sebagai PMA.1
- Pemohon Lainnya (Pasal 24): Kategori ini mencakup entitas yang tidak secara langsung melakukan kegiatan usaha komersial inti, tetapi memerlukan pendaftaran atau perizinan untuk eksistensinya di Indonesia:
- Kantor Perwakilan: Termasuk Kantor Perwakilan Perusahaan Asing (KPPA), Kantor Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing (KP3A), dan Kantor Perwakilan Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing (BUJKA).1
- Badan Usaha Luar Negeri Tertentu: Entitas asing yang tidak termasuk dalam kategori Pasal 23, seperti pemberi waralaba dari luar negeri dan penyelenggara sistem elektronik lingkup privat asing.1
Secara khusus, regulasi ini menegaskan bahwa setiap PMA yang berbentuk badan usaha wajib didirikan sebagai Perseroan Terbatas (PT) berdasarkan hukum Indonesia (Pasal 23 ayat (11)).1
B. Ketentuan-ketentuan terkait Investasi dan Permodalan
Permen Investasi 5/2025 memberikan rincian yang lebih granular mengenai ketentuan nilai investasi dan permodalan, yang menjadi salah satu pilar utama dalam klasifikasi skala usaha dan pembeda antara PMDN dan PMA.
1. Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) (Pasal 25)
Untuk PMDN, regulasi ini mengadopsi kriteria modal usaha dari peraturan perundang-undangan mengenai UMK-M, dengan klasifikasi sebagai berikut 1:
- Usaha Mikro: Modal usaha hingga Rp 1 miliar, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
- Usaha Kecil: Modal usaha lebih dari Rp 1 miliar hingga Rp 5 miliar, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
- Usaha Menengah: Modal usaha lebih dari Rp 5 miliar hingga Rp 10 miliar, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
- Usaha Besar: Modal usaha lebih dari Rp 10 miliar, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
Penting untuk dicatat, pengecualian terhadap "tidak termasuk tanah dan bangunan" berlaku untuk sektor-sektor spesifik seperti pengusahaan properti, penyediaan akomodasi, pertanian, perkebunan, peternakan, dan perikanan budidaya, di mana nilai tanah dan bangunan dihitung sebagai bagian dari modal usaha (Pasal 25 ayat (6)).1
2. Penanaman Modal Asing (PMA) (Pasal 26-27)
Regulasi ini menetapkan aturan yang lebih ketat dan bernuansa bagi PMA, yang secara inheren diklasifikasikan sebagai Usaha Besar.1
- Ketentuan Nilai Investasi: Aturan umum mewajibkan total investasi lebih besar dari Rp 10 miliar, di luar tanah dan bangunan, untuk setiap bidang usaha KBLI 5-digit per lokasi proyek (Pasal 26 ayat (2)).1
- Pengecualian Sektoral Pragmatis: Menunjukkan pemahaman regulator terhadap model bisnis yang berbeda, pengecualian diterapkan untuk 1:
- Perdagangan Besar: > Rp 10 miliar per 4-digit awal KBLI.
- Jasa Makanan dan Minuman: > Rp 10 miliar per 2-digit awal KBLI per satu titik lokasi dalam satu kabupaten/kota.
- Jasa Konstruksi: > Rp 10 miliar per 4-digit awal KBLI.
Pendekatan ini, misalnya, memungkinkan jaringan restoran asing untuk merencanakan investasi agregat di suatu kota tanpa harus memenuhi ambang batas Rp 10 miliar untuk setiap gerai individu, sebuah penyesuaian yang logis dan pro-investasi.1
- Ketentuan Permodalan Minimum: Selain nilai investasi, Pasal 26 ayat (10) menetapkan ketentuan modal ditempatkan/disetor minimum bagi PMA sebesar Rp 2,5 miliar per perseroan terbatas, kecuali ditentukan lain.1
- Komitmen Penahanan Modal (Ketentuan Baru): Pasal 27 memperkenalkan sebuah kewajiban baru yang signifikan. Pelaku usaha PMA wajib membuat pernyataan mandiri bahwa modal disetor tersebut tidak akan dipindahkan dari rekening badan usaha untuk jangka waktu minimum 12 bulan, kecuali untuk pembelian aset, pembangunan, atau keperluan operasional.1 Ketentuan ini dirancang untuk memastikan komitmen finansial yang nyata dari investor asing dan mencegah praktik pendirian perusahaan PMA dengan modal nominal yang hanya bersifat sementara.
C. Kerangka Umum Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (PBBR)
1. Klasifikasi Bidang Usaha dan Tahapan Kegiatan Usaha (Pasal 10-15)
Permen Investasi 5/2025 mempertahankan dan memperjelas kerangka klasifikasi kegiatan usaha. Pasal 10 ayat (1) menegaskan bahwa penyelenggaraan PBBR harus memperhatikan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI), bidang usaha prioritas, bidang usaha dengan persyaratan tertentu, serta bidang usaha yang tertutup atau memerlukan kemitraan.1
Secara krusial, Pasal 11 hingga Pasal 15 membedah siklus hidup kegiatan usaha menjadi dua tahapan utama: (1) memulai usaha, dan (2) menjalankan usaha. Tahap memulai usaha mencakup subtahap pemenuhan legalitas badan usaha, pemenuhan persyaratan dasar (KKPR dan Persetujuan Lingkungan awal), dan perolehan Perizinan Berusaha (PB).1 Tahap menjalankan usaha kemudian dibagi lagi menjadi subtahap persiapan (misalnya, pengadaan tanah, konstruksi) dan subtahap operasional dan/atau komersial (produksi, pemasaran).1 Struktur ini memberikan kejelasan prosedural yang tegas bagi pelaku usaha.
2. Nomor Induk Berusaha (NIB) sebagai Instrumen Sentral dan Legalitas Berlapis (Pasal 16-22)
Permen Investasi 5/2025 secara signifikan memperluas dan memperkuat fungsi yuridis dari Nomor Induk Berusaha (NIB). Pasal 16 menegaskan bahwa NIB bukan lagi sekadar nomor registrasi, melainkan sebuah instrumen hukum multifungsi yang secara ex officio berlaku sebagai 1:
- Hak Akses Kepabeanan untuk kegiatan ekspor dan impor.
- Angka Pengenal Importir (API).
- Pendaftaran kepesertaan jaminan sosial (BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan).
- Bukti pemenuhan Wajib Lapor Ketenagakerjaan untuk periode pertama.
Lebih lanjut, Pasal 16 ayat (9) memperkenalkan konsep "legalitas terbatas" bagi pelaku usaha dengan tingkat risiko menengah dan tinggi. NIB memberikan legalitas kepada pelaku usaha tersebut untuk memulai tahap persiapan kegiatan usahanya, termasuk pengadaan tanah dan konstruksi, meskipun Sertifikat Standar atau Izin operasionalnya belum terverifikasi atau berlaku efektif.1 Konsep ini memberikan kepastian hukum yang sangat dibutuhkan pada fase awal investasi.
D. Struktur Perizinan Pra-Operasional: Izin yang Diperlukan dan Kemungkinan Memulai Usaha
Salah satu pertanyaan fundamental bagi setiap investor adalah: "Izin apa saja yang diperlukan sebelum dapat memulai kegiatan, dan apakah mungkin untuk memulai sebagian kegiatan tanpa menunggu seluruh izin selesai?" Permen Investasi 5/2025 memberikan jawaban yang terstruktur dan bergantung pada tingkat risiko kegiatan usaha.
Secara prinsip, tidak ada kegiatan usaha formal yang dapat dimulai tanpa memiliki Perizinan Berusaha (PB).1 Namun, definisi "memulai kegiatan" dipecah menjadi tahap persiapan dan tahap operasional/komersial, dan jenis PB yang diperlukan bervariasi:
- Kegiatan Usaha Risiko Rendah:
- Izin yang Diperlukan: Hanya Nomor Induk Berusaha (NIB) [1, Pasal 186 ayat (3) huruf a].
- Kapan Bisa Memulai Usaha: Segera setelah NIB terbit. NIB untuk risiko rendah berfungsi sebagai legalitas penuh untuk melakukan seluruh tahapan usaha, baik persiapan, operasional, maupun komersial [1, Pasal 187 ayat (6)].
- Kegiatan Usaha Risiko Menengah Rendah:
- Izin yang Diperlukan: NIB dan Sertifikat Standar [1, Pasal 186 ayat (3) huruf b]. Keduanya diterbitkan secara otomatis berdasarkan pernyataan mandiri pelaku usaha tanpa perlu verifikasi awal.
- Kapan Bisa Memulai Usaha: Segera setelah NIB dan Sertifikat Standar terbit. Kombinasi kedua dokumen ini memberikan legalitas penuh untuk melakukan persiapan, operasional, dan komersial [1, Pasal 188 ayat (6)].
- Kegiatan Usaha Risiko Menengah Tinggi dan Tinggi (Prinsip "Mulai Persiapan Tanpa Izin Final"):
- Izin Awal yang Diperlukan: NIB adalah kunci utama. Setelah NIB terbit, sistem OSS akan menerbitkan Sertifikat Standar dengan status "belum terverifikasi" (untuk risiko menengah tinggi) atau Izin dengan status "belum berlaku efektif" (untuk risiko tinggi) [1, Pasal 189 ayat (4), Pasal 201 ayat (4)].
- Bolehkah Memulai Usaha Tanpa Izin Final? Ya, untuk Tahap Persiapan. NIB memberikan "legalitas terbatas" kepada pelaku usaha [1, Pasal 16 ayat (9)]. Legalitas terbatas ini secara eksplisit mengizinkan pelaku usaha untuk memulai subtahapan persiapan dari kegiatan usahanya [1, Pasal 189 ayat (6), Pasal 201 ayat (6)]. Kegiatan persiapan ini mencakup, antara lain [1, Pasal 14 ayat (1)]:
- Pengadaan tanah.
- Pembangunan bangunan gedung (setelah PBG diperoleh).
- Pengadaan peralatan atau sarana.
- Pengadaan sumber daya manusia.
- Uji coba produksi.
- Larangan Keras: Legalitas terbatas ini tidak dapat digunakan untuk menjalankan subtahapan operasional dan/atau komersial, seperti produksi massal untuk dijual, pemasaran, dan distribusi [1, Pasal 189 ayat (7), Pasal 201 ayat (8)].
- Langkah Selanjutnya: Untuk dapat memulai kegiatan operasional dan komersial, pelaku usaha wajib memenuhi seluruh standar atau persyaratan yang ditetapkan, mengajukan verifikasi, dan mendapatkan persetujuan dari pemerintah. Setelah disetujui, barulah Sertifikat Standar menjadi "telah terverifikasi" atau Izin menjadi "berlaku efektif", yang memberikan legalitas penuh untuk beroperasi secara komersial [1, Pasal 195 ayat (5), Pasal 206 ayat (5)].
E. Dekonstruksi Persyaratan Dasar Perizinan Berusaha (BAB IV, Pasal 40-185)
BAB IV secara sistematis menguraikan tiga pilar persyaratan dasar yang harus dipenuhi sebelum PB dapat diproses lebih lanjut.1
- Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR) (Pasal 40-89): Regulasi ini mengkodifikasi proses untuk memastikan kesesuaian rencana lokasi usaha dengan tata ruang. Terdapat dua jalur utama: (i) untuk lokasi yang telah memiliki Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yang terintegrasi dengan sistem OSS, prosesnya menghasilkan Konfirmasi KKPR secara otomatis; (ii) untuk lokasi tanpa RDTR, diperlukan proses pengajuan Persetujuan KKPR yang melibatkan penilaian oleh instansi terkait.1
- KKPR Darat: Proses ini mencakup beberapa mekanisme 1:
- Konfirmasi KKPR (Pasal 47): Diberikan secara otomatis jika lokasi usaha sesuai dengan RDTR yang telah terintegrasi dengan Sistem OSS.
- Persetujuan KKPR (Pasal 49-58): Diperlukan jika RDTR belum terintegrasi. Proses ini melibatkan pendaftaran, pembayaran PNBP, pemeriksaan dokumen (maksimal 5 hari kerja), dan penilaian substansi (maksimal 20 hari kerja).
- Persetujuan KKPR Kondisi Tertentu (Pasal 63-66): Diberikan untuk lokasi di KEK, kawasan industri, atau kondisi spesifik lainnya tanpa melalui penilaian substansi tata ruang, melainkan melalui verifikasi dokumen (maksimal 5 hari kerja). Jika batas waktu terlampaui, persetujuan terbit otomatis.
- KKPR Laut (KKPRL): Untuk kegiatan di laut, pelaku usaha wajib memiliki Persetujuan KKPRL yang diterbitkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan melalui Sistem OSS (Pasal 46 ayat (4)).1 Jika lokasi berada di kawasan suaka atau pelestarian alam, diperlukan rekomendasi tambahan (Pasal 45 ayat (1) huruf b angka 2).1 Proses penerbitannya mengikuti tahapan yang serupa dengan KKPR darat, disesuaikan dengan peraturan sektor kelautan (Pasal 146).1
- Persetujuan Lingkungan (PL) (Pasal 147-169): Permen Investasi 5/2025 menegaskan pendekatan berjenjang terhadap persetujuan lingkungan, yang disesuaikan dengan potensi dampak lingkungan. Jenjang tersebut meliputi Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup (SPPL) untuk dampak tidak penting, Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL), hingga Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) untuk kegiatan dengan dampak penting dan berskala besar.1
- Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) dan Sertifikat Laik Fungsi (SLF) (Pasal 170-184): Regulasi ini mengintegrasikan proses pengajuan PBG dan SLF ke dalam alur OSS. PBG menjadi prasyarat untuk memulai konstruksi, sedangkan SLF wajib dimiliki sebelum bangunan gedung dapat dimanfaatkan untuk kegiatan operasional.1
F. Fasilitas Penanaman Modal dan Kerangka Pengawasan (BAB VIII & X)
- Prosedur Pengajuan Fasilitas (Pasal 250-268): BAB VIII secara eksplisit mengatur bahwa permohonan untuk berbagai fasilitas penanaman modal, seperti tax holiday, tax allowance, dan pembebasan bea masuk, diajukan dan diproses melalui sistem OSS.1 Ini mengkonkritkan integrasi antara perizinan dan insentif.
- Kewajiban Pelaporan (LKPM) dan Pengawasan (Pasal 282-315): BAB X menguraikan kerangka pengawasan yang terintegrasi. Instrumen utama adalah Laporan Kegiatan Penanaman Modal (LKPM) yang wajib disampaikan secara berkala melalui sistem OSS.1 Pasal 286 menetapkan frekuensi pelaporan berbeda berdasarkan skala usaha: setiap 6 bulan untuk usaha kecil, dan setiap 3 bulan (triwulanan) untuk usaha menengah dan besar.1 Pengawasan lapangan dibagi menjadi
inspeksi rutin dan inspeksi insidental, yang didokumentasikan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP).1
IV. EKSPEKTASI JANGKA WAKTU (TIMELINE) PROSES PERIZINAN
Permen Investasi 5/2025 menetapkan batas waktu maksimal untuk setiap tahapan pemrosesan oleh pemerintah, yang bertujuan memberikan kepastian waktu bagi investor. Namun, penting untuk dipahami bahwa total waktu hingga izin berlaku efektif sangat bergantung pada kompleksitas usaha, kelengkapan dokumen, dan kecepatan pelaku usaha dalam memenuhi kewajiban (seperti pembayaran PNBP dan perbaikan dokumen). Berikut adalah ekspektasi timeline berdasarkan jangka waktu yang diatur dalam peraturan:
- Tahap 1: Penerbitan NIB (Hari ke-0)
- Waktu: Seketika (otomatis).
- Proses: Setelah pelaku usaha melengkapi data legalitas dan data usaha di Sistem OSS, NIB langsung terbit. Untuk usaha risiko rendah, NIB ini sudah menjadi legalitas penuh untuk beroperasi.1
- Tahap 2: Pemenuhan Persyaratan Dasar (Dapat Berjalan Paralel)
- A. Proses KKPR (Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang):
- Konfirmasi KKPR (jika ada RDTR terintegrasi): Otomatis, tanpa jangka waktu tunggu.1
- Persetujuan KKPR (tanpa RDTR terintegrasi): Total waktu pemrosesan oleh pemerintah sekitar 25 hari kerja (5 hari pemeriksaan dokumen + 20 hari penilaian), dengan asumsi tidak ada perbaikan. Jika ada perbaikan, waktu akan bertambah sesuai kecepatan pelaku usaha dan siklus pemeriksaan ulang (2-3 hari kerja per siklus).1
- Persetujuan KKPR Kondisi Tertentu: Total waktu verifikasi oleh pemerintah adalah 5 hari kerja. Jika batas waktu ini terlampaui, persetujuan terbit secara otomatis.1
- B. Proses Persetujuan Lingkungan (PL):
- SPPL: Terbit otomatis bersama NIB.1
- Persetujuan UKL-UPL: Total waktu pemeriksaan oleh pemerintah adalah 6 hingga 15 hari kerja, tergantung jenis formulir dan apakah memerlukan persetujuan teknis paralel.1
- Persetujuan AMDAL: Proses ini lebih panjang dan melibatkan rapat tim uji kelayakan. Jangka waktu pemerintah untuk penilaian administratif adalah 3 hari kerja, diikuti penilaian substansi yang melibatkan siklus perbaikan oleh pelaku usaha (diberi waktu 30 hari untuk perbaikan pertama).1
- C. Proses Persetujuan Bangunan Gedung (PBG):
- Proses konsultasi perencanaan memiliki batas waktu 28 hari kerja.1 Setelah itu, proses penetapan retribusi dan penerbitan PBG memakan waktu beberapa hari, dengan asumsi pelaku usaha segera melakukan pembayaran (diberi waktu maksimal 20 hari).1
- Tahap 3: Verifikasi Perizinan Berusaha (untuk Risiko Menengah Tinggi & Tinggi)
- Proses: Setelah persyaratan dasar terpenuhi dan persiapan usaha selesai (misalnya, bangunan jadi, mesin terpasang), pelaku usaha mengajukan permohonan verifikasi melalui OSS.
- Waktu: Jangka waktu verifikasi oleh pemerintah bervariasi per sektor usaha, sebagaimana diatur dalam lampiran PP 28/2025. Namun, Permen Investasi 5/2025 menetapkan bahwa verifikasi harus selesai paling lambat 1 hari sebelum jangka waktu penerbitan berakhir.1 Jika ada perbaikan, pelaku usaha diberi waktu
10 hari kerja untuk setiap siklus perbaikan.1
Secara keseluruhan, meskipun setiap tahapan memiliki batas waktu yang jelas bagi pemerintah, tidak ada batas waktu total yang pasti untuk seluruh proses perizinan. Durasi total sangat dipengaruhi oleh tingkat risiko, kelengkapan dokumen awal, dan kecepatan respons pelaku usaha.
V. ANALISIS PERUBAHAN REGULASI DAN IMPLIKASINYA
A. Perbandingan Komprehensif: Kerangka Regulasi 2021 vs. 2025
Transisi dari kerangka regulasi tahun 2021 (terdiri dari Peraturan BKPM No. 3, 4, dan 5) ke Permen Investasi 5/2025 menandai evolusi signifikan dalam filsafat regulasi perizinan di Indonesia. Perubahan ini bergerak dari pendekatan yang terfragmentasi menuju sebuah kerangka hukum yang terpadu dan holistik. Tema utamanya adalah simplifikasi, integrasi, dan penguatan kepastian hukum.
B. Tabel Komparatif
Tabel berikut menyajikan perbandingan mendalam antara kerangka regulasi sebelumnya dan Permen Investasi 5/2025.
Aspek/Fitur | Peraturan BKPM No. 3/2021 (Sistem OSS) | Peraturan BKPM No. 4/2021 (Pelayanan & Fasilitas) | Peraturan BKPM No. 5/2021 (Pengawasan) | Peraturan Menteri Investasi No. 5/2025 (Konsolidasi) | Analisis Perubahan & Implikasi bagi Pelaku Usaha |
Struktur Regulasi | Peraturan mandiri tentang arsitektur sistem OSS.3 | Peraturan mandiri tentang prosedur PBBR dan fasilitas.4 | Peraturan mandiri tentang prosedur pengawasan (LKPM, inspeksi, sanksi).7 | Satu peraturan omnibus yang mengintegrasikan sistem, pelayanan, dan pengawasan.1 | Peningkatan Kepastian Hukum: Pelaku usaha kini memiliki satu titik referensi tunggal, menyederhanakan upaya kepatuhan dan mengurangi risiko interpretasi yang berbeda. |
Fungsi NIB | Mendefinisikan NIB sebagai bukti registrasi/identitas.3 | Merinci NIB sebagai prasyarat untuk perizinan.4 | NIB sebagai subjek pengawasan.7 | Memperluas fungsi NIB secara eksplisit untuk mencakup hak akses kepabeanan, API, dan pendaftaran BPJS (Pasal 16).1 | Efisiensi Proses Awal: NIB menjadi "identitas super" yang menyederhanakan proses administrasi awal. Namun, ini juga menciptakan single point of failure jika terjadi masalah data pada NIB. |
Aturan Permodalan PMA | Tidak diatur. | Mengacu pada aturan umum nilai investasi berdasarkan PP 5/2021.4 | Tidak diatur. | Merinci modal disetor minimum Rp 2,5 miliar dan komitmen penahanan modal selama 12 bulan (Pasal 26-27).1 | Pengetatan Kriteria Masuk: Persyaratan masuk yang lebih ketat bagi PMA untuk memastikan kapasitas finansial dan komitmen jangka panjang, berpotensi menyaring entitas asing dengan modal yang lebih kecil. |
Pelaporan LKPM | Tidak diatur. | Disebutkan sebagai kewajiban.4 | Merinci prosedur, frekuensi, dan format penyampaian LKPM.7 | Mengintegrasikan dan menyempurnakan prosedur LKPM, dengan frekuensi yang dibedakan untuk usaha kecil (semesteran) serta menengah dan besar (triwulanan) (Pasal 285-286).1 | Kewajiban Pelaporan Berjenjang: Beban pelaporan yang lebih ringan bagi usaha kecil, sejalan dengan prinsip proporsionalitas. Sistem OSS menjadi satu-satunya kanal pelaporan. |
Metode Pengawasan | Tidak diatur. | Tidak diatur. | Mendefinisikan inspeksi rutin dan insidental serta penggunaan BAP.7 | Mengadopsi dan merinci kerangka inspeksi rutin dan insidental, mengintegrasikannya secara langsung dengan siklus perizinan (Pasal 302, 309).1 | Siklus Kepatuhan Terintegrasi: Pengawasan kini secara prosedural tertanam dalam peraturan yang sama dengan perizinan, menciptakan hubungan yang mulus antara permohonan, kepatuhan, dan penegakan hukum. |
Sanksi | Tidak diatur. | Disebutkan secara umum.4 | Merinci jenis-jenis sanksi administratif dan prosedur pengenaannya.7 | Mengkonsolidasikan kerangka sanksi, menghubungkan ketidakpatuhan secara langsung dengan kewajiban spesifik dalam peraturan (Pasal 348-372).1 | Hubungan Sebab-Akibat yang Jelas: Pelaku usaha dapat lebih mudah menelusuri pelanggaran spesifik mana yang mengarah pada sanksi tertentu, meningkatkan prediktabilitas penegakan hukum. |
VI. ASPEK-ASPEK KOMERSIAL PENTING BAGI INVESTOR
Permen Investasi 5/2025 memperkenalkan beberapa perubahan dan penegasan yang memiliki implikasi komersial langsung bagi investor.
- Kepastian Hukum dan Efisiensi Proses: Dengan mengkonsolidasikan tiga peraturan menjadi satu, investor mendapatkan keuntungan dari sumber hukum tunggal yang mengatur seluruh siklus perizinan dari awal hingga pengawasan. Ini mengurangi ambiguitas dan potensi konflik antar-regulasi, yang secara komersial berarti mengurangi risiko hukum dan biaya kepatuhan.
- Percepatan Memulai Usaha (Time-to-Market): Konsep "legalitas terbatas" yang diberikan oleh NIB untuk kegiatan usaha berisiko menengah dan tinggi (Pasal 16 ayat (9)) adalah keuntungan komersial yang signifikan.1 Investor dapat segera memulai kegiatan persiapan yang padat modal (seperti konstruksi) tanpa harus menunggu verifikasi penuh atas Sertifikat Standar atau Izin. Ini secara drastis dapat mempersingkat waktu dari investasi awal hingga operasional komersial.
- Fleksibilitas Kriteria Investasi Sektoral: Meskipun persyaratan umum investasi PMA tetap tinggi (> Rp 10 miliar), adanya pengecualian yang lebih logis untuk sektor-sektor seperti jasa makanan dan minuman serta perdagangan besar menunjukkan bahwa regulator mempertimbangkan model bisnis yang berbeda (Pasal 26 ayat (3)).1 Fleksibilitas ini memungkinkan model bisnis berbasis jaringan atau multi-lokasi untuk masuk ke pasar Indonesia dengan lebih realistis.
- Peningkatan Ambang Batas Finansial untuk PMA: Kewajiban modal disetor minimum Rp 2,5 miliar dan komitmen penahanan modal selama 12 bulan (Pasal 26 & 27) merupakan aspek komersial yang harus diperhitungkan secara cermat.1 Di satu sisi, ini meningkatkan
barrier to entry dan menuntut komitmen finansial yang lebih besar di muka. Di sisi lain, ini bertujuan untuk menyaring investor yang lebih serius dan kredibel, yang dapat meningkatkan kualitas dan keberlanjutan investasi secara keseluruhan di ekosistem bisnis Indonesia. - Integrasi Pengajuan Insentif: Kemampuan untuk mengajukan fasilitas fiskal (seperti tax holiday dan pembebasan bea masuk) langsung melalui platform OSS (BAB VIII) adalah efisiensi komersial yang penting.1 Ini menyederhanakan birokrasi dan memungkinkan investor untuk merencanakan struktur insentif mereka secara terintegrasi dengan proses perizinan utama.
VII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI STRATEGIS
A. Poin-Poin Kritis dan Potensi Risiko Hukum
Permen Investasi 5/2025 merupakan langkah maju yang monumental dalam reformasi regulasi investasi di Indonesia. Dengan mengkonsolidasikan tiga peraturan menjadi satu, pemerintah secara signifikan meningkatkan kepastian, transparansi, dan efisiensi prosedural. Poin-poin kritis yang perlu digarisbawahi adalah penguatan fungsi NIB, pengetatan syarat permodalan PMA, dan integrasi penuh antara perizinan, fasilitas, dan pengawasan dalam satu platform OSS.
Namun, beberapa potensi risiko hukum dan tantangan implementasi tetap ada. Keberhasilan sistem ini sangat bergantung pada interoperabilitas teknis yang sempurna antara sistem OSS dengan sistem di kementerian/lembaga lain. Setiap kegagalan atau keterlambatan dalam pertukaran data dapat menyebabkan penundaan proses. Selain itu, kapasitas pemerintah daerah dalam melakukan verifikasi—terutama untuk perizinan risiko menengah tinggi dan tinggi—sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan akan menjadi ujian krusial bagi efektivitas implementasi di lapangan.
B. Rekomendasi Langkah-Langkah Kepatuhan (Compliance)
Berdasarkan analisis di atas, direkomendasikan langkah-langkah strategis berikut:
- Bagi Pelaku Usaha Eksisting:
- Segera lakukan audit kepatuhan internal secara menyeluruh untuk memetakan seluruh perizinan yang dimiliki terhadap nomenklatur dan persyaratan baru dalam Permen Investasi 5/2025.
- Pastikan data yang tercatat di sistem OSS (termasuk data KBLI, lokasi, dan nilai investasi) akurat dan mutakhir, mengingat data ini akan menjadi dasar bagi proses pengawasan dan pengajuan fasilitas.
- Tinjau kembali dan sesuaikan Standar Operasional Prosedur (SOP) internal terkait pelaporan LKPM dan persiapan inspeksi lapangan agar selaras dengan mekanisme baru yang diatur dalam BAB X.1
- Bagi Investor Baru:
- Lakukan perencanaan investasi dengan sangat cermat, terutama terkait pemenuhan kewajiban nilai investasi dan modal disetor minimum bagi PMA sejak awal, termasuk strategi arus kas terkait komitmen penahanan modal 12 bulan.1
- Manfaatkan struktur tahapan kegiatan usaha (memulai vs. menjalankan usaha) untuk merencanakan alur proyek secara efisien, di mana kegiatan persiapan dapat dimulai segera setelah NIB terbit.1
- Integrasikan proses pengajuan perizinan berusaha dengan pengajuan fasilitas penanaman modal sejak tahap perencanaan untuk memaksimalkan efisiensi dan memastikan konsistensi data di seluruh permohonan.
VIII. DAFTAR EKSHIBIT DAN DOKUMEN PENDUKUNG
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
- Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang.
- Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856).14
- Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2025 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 7115).
- Peraturan Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 5 Tahun 2025 tentang Pedoman dan Tata Cara Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dan Fasilitas Penanaman Modal melalui Sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (Online Single Submission).
- Peraturan Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 3 Tahun 2021 tentang Sistem Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Terintegrasi Secara Elektronik (dicabut oleh Permen Investasi 5/2025).2
- Peraturan Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 4 Tahun 2021 tentang Pedoman dan Tata Cara Pelayanan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dan Fasilitas Penanaman Modal (dicabut oleh Permen Investasi 5/2025).4
- Peraturan Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 5 Tahun 2021 tentang Pedoman dan Tata Cara Pengawasan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (dicabut oleh Permen Investasi 5/2025).7
- "Penyusunan Revisi PP 5/2021 Capai 95 Persen," Hukumonline.com, 6 Agustus 2024.
- "Rincian Pengembangan Usaha dalam Permen Turunan PP 28/2025," Hukumonline.com, 7 Juli 2025.