Analisis Yuridis Komprehensif: Gugatan dan Permohonan dalam Hukum Acara Perdata Indonesia

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang dan Signifikansi Masalah

Dalam arsitektur sistem peradilan perdata Indonesia, terdapat sebuah dikotomi fundamental yang berfungsi sebagai gerbang utama bagi para pencari keadilan, yaitu pembedaan antara Gugatan dan Permohonan. Pembedaan ini bukanlah sekadar teknisitas prosedural, melainkan merupakan cerminan dari dualisme fungsi inheren yang diemban oleh lembaga yudikatif. Di satu sisi, pengadilan bertindak sebagai lembaga adjudikator yang menyelesaikan sengketa hak di antara para pihak yang berlawanan kepentingan. Di sisi lain, pengadilan juga berfungsi sebagai organ negara yang memberikan kepastian dan legitimasi hukum atas suatu status atau keadaan tertentu tanpa adanya sengketa.1 Gugatan menjadi instrumen untuk fungsi pertama, sementara Permohonan melayani fungsi kedua.3 Memahami secara mendalam perbedaan konseptual, yuridis, dan praktis di antara keduanya adalah prasyarat esensial bagi setiap praktisi hukum untuk dapat menavigasi sistem peradilan secara efektif dan menghindari kesalahan prosedural yang berakibat fatal.

Signifikansi pembedaan ini semakin mengemuka dalam konteks negara hukum modern yang menuntut efisiensi dan efektivitas peradilan. Jalur Gugatan yang bersifat adversarial dirancang untuk mengakomodasi kompleksitas pembuktian dalam sengketa, sementara jalur Permohonan yang lebih sederhana menyediakan akses cepat terhadap kepastian hukum untuk urusan-urusan non-konfliktual.2 Dengan demikian, pemahaman yang akurat atas distingsi ini tidak hanya penting bagi advokat dalam merumuskan strategi litigasi, tetapi juga bagi hakim dalam menentukan kewenangan dan prosedur pemeriksaan yang tepat, serta bagi masyarakat luas untuk memahami jalur hukum yang paling sesuai dengan kebutuhan mereka.

B. Rumusan Masalah

Memorandum ini disusun untuk memberikan analisis yang mendalam dan komprehensif terhadap permasalahan-permasalahan berikut:

  • Apakah landasan konseptual dan filosofis yang membedakan antara Gugatan, sebagai manifestasi dari yurisdiksi sengketa (jurisdictio contentiosa), dengan Permohonan, sebagai manifestasi dari yurisdiksi volunter (jurisdictio voluntaria)?
  • Bagaimana sumber-sumber hukum acara perdata primer di Indonesia, khususnya Herziene Inlandsch Reglement (HIR) dan Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBg), serta sumber hukum materiil dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), mengatur atau melahirkan kedua jenis tindakan hukum yang berbeda ini?
  • Apa saja karakteristik spesifik yang membedakan antara Gugatan dan Permohonan ditinjau dari sifat perkara, para pihak yang terlibat, proses pemeriksaan, produk hukum yang dihasilkan, serta kekuatan mengikat dari produk hukum tersebut?
  • Bagaimana manifestasi perbedaan teoretis tersebut dalam praktik peradilan, sebagaimana dapat diilustrasikan melalui contoh-contoh kasus paradigmatik?

C. Tesis Utama

Tesis sentral dari memorandum ini adalah bahwa klasifikasi yang keliru atas suatu tindakan hukum, baik sebagai Gugatan maupun Permohonan, merupakan suatu cacat formil yang tidak dapat diperbaiki (fatal procedural flaw). Kekeliruan semacam ini tidak hanya berdampak pada jalur prosedur yang ditempuh, tetapi menyentuh langsung pada kewenangan dan yurisdiksi pengadilan dalam memeriksa perkara. Konsekuensi logis dan tak terhindarkan dari kesalahan klasifikasi ini adalah putusan yang menyatakan perkara tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijke Verklaard), yang pada akhirnya berujung pada kesia-siaan waktu, biaya, dan sumber daya, serta menunda tercapainya keadilan substantif bagi para pihak.6 Oleh karena itu, pemahaman yang presisi atas distingsi ini menjadi kunci utama dalam formulasi strategi litigasi yang tepat dan berhasil.

II. LANDASAN KONSEPTUAL DAN FILOSOFIS: JURISDICTIO CONTENTIOSA VERSUS JURISDICTIO VOLUNTARIA

A. Dualisme Fungsi Peradilan Perdata

Sistem peradilan perdata modern mengemban dua fungsi yang berbeda namun sama pentingnya. Fungsi yang paling umum dikenal adalah sebagai forum penyelesaian sengketa, di mana pengadilan berperan sebagai wasit yang netral dalam suatu proses adversarial untuk mengadili dan memutus perselisihan hak di antara dua pihak atau lebih. Fungsi ini dikenal dalam doktrin hukum sebagai jurisdictio contentiosa atau yurisdiksi sengketa.7 Namun, terdapat fungsi kedua yang bersifat administratif atau deklaratif, di mana pengadilan tidak mengadili sengketa, melainkan memberikan penetapan atau pengesahan hukum atas suatu keadaan untuk kepentingan satu pihak demi terciptanya kepastian hukum. Fungsi ini disebut sebagai jurisdictio voluntaria atau yurisdiksi volunter.3 Dalam konteks hukum acara perdata Indonesia, Gugatan adalah instrumen yuridis untuk menjalankan jurisdictio contentiosa, sedangkan Permohonan adalah instrumen untuk jurisdictio voluntaria.3

B. Gugatan sebagai Manifestasi Jurisdictio Contentiosa

Gugatan, atau yang dalam terminologi hukum acara disebut sebagai perkara contentiosa, secara inheren didasarkan pada adanya suatu "sengketa" atau "konflik" hukum.1 Suatu tuntutan hak menjelma menjadi Gugatan ketika pihak yang merasa haknya dilanggar tidak dapat memperoleh pemenuhan hak tersebut secara sukarela dari pihak yang dianggap melanggar, sehingga intervensi yudisial menjadi niscaya.10 Dalam perkara Gugatan, fungsi hakim adalah menjalankan "peradilan yang sebenarnya" (ware rechtspraak), di mana ia secara aktif menimbang dalil-dalil, argumentasi, serta alat-alat bukti yang diajukan oleh para pihak yang saling berhadapan.12 Proses ini bersifat adversarial, yang ditandai dengan adanya adu argumentasi melalui mekanisme sanggah-menyanggah dalam bentuk replik (jawaban Penggugat atas jawaban Tergugat) dan duplik (jawaban Tergugat atas replik Penggugat).14 Tujuan akhir dari suatu Gugatan adalah untuk memperoleh putusan pengadilan yang menyelesaikan sengketa secara tuntas dan, jika diperlukan, dapat memaksakan pemenuhan hak terhadap pihak lawan.

C. Permohonan sebagai Manifestasi Jurisdictio Voluntaria

Berbeda secara diametral, Permohonan, atau yang juga dikenal sebagai perkara voluntaria, dicirikan oleh ketiadaan sengketa.1 Permasalahan yang diajukan bersifat sepihak (ex-parte) dan diajukan semata-mata untuk kepentingan Pemohon itu sendiri tanpa menarik pihak lain sebagai lawan.1 Dalam konteks ini, fungsi hakim bukanlah untuk mengadili suatu konflik, melainkan lebih menyerupai fungsi administrasi negara (bestuurshandeling), di mana pengadilan memberikan "jasa-jasanya" untuk menetapkan suatu status hukum demi memberikan kepastian.12 Oleh karenanya, proses ini sering disebut sebagai "peradilan yang bukan sebenarnya" (oneigenlijke rechtspraak).12 Tujuan dari Permohonan bukanlah untuk memenangkan perkara melawan pihak lain, melainkan untuk mendapatkan suatu "ketetapan dari hakim tentang status dari suatu hal" yang kemudian diakui secara hukum.13

D. Pandangan Doktrinal Para Ahli Hukum

Pembedaan konseptual ini dipertegas oleh pandangan para yuris terkemuka di Indonesia. M. Yahya Harahap, seorang pakar hukum acara perdata, secara konsisten mendefinisikan Gugatan sebagai tuntutan hak yang mengandung sengketa di antara dua pihak atau lebih, sementara Permohonan (yang ia sebut juga sebagai gugatan voluntair) adalah permasalahan perdata yang diajukan dalam bentuk permohonan sepihak yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri.14 Pandangan ini selaras dengan pendapat Retnowulan Sutantio, yang menekankan bahwa produk akhir dari suatu Permohonan adalah sebuah penetapan, yang pada hakikatnya merupakan putusan declaratoir, yaitu putusan yang hanya bersifat menetapkan atau menerangkan suatu keadaan hukum.14 Lebih jauh, meskipun karya fundamental Prof. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, tidak secara langsung membahas hukum acara, substansi hak-hak perdata yang diatur di dalamnya—seperti status anak, perwalian, dan pengampuan—secara implisit meniscayakan adanya mekanisme jurisdictio voluntaria untuk pengesahan dan perubahannya melalui Permohonan.16

Para ahli hukum lain seperti Sudikno Mertokusumo dan Wirjono Prodjodikoro juga memberikan definisi yang memperkuat distingsi ini. Sudikno Mertokusumo mendefinisikan hukum acara perdata sebagai peraturan yang mengatur cara menjamin ditaatinya hukum perdata materiil melalui perantara hakim, yang secara implisit mencakup baik penegakan dalam sengketa (gugatan) maupun penjaminan status tanpa sengketa (permohonan).21 Wirjono Prodjodikoro merumuskannya sebagai rangkaian peraturan tentang bagaimana orang harus bertindak di muka pengadilan, yang jalurnya akan sangat berbeda tergantung pada ada atau tidaknya sengketa.21

Penting untuk dicatat bahwa landasan hukum formal bagi Gugatan secara eksplisit terdapat dalam produk hukum era kolonial, yaitu HIR dan RBg.15 Sebaliknya, landasan hukum bagi Permohonan sebagai suatu kategori yurisdiksi yang terpisah seringkali ditelusuri pada produk hukum pasca-kemerdekaan, yaitu Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman (sebelumnya UU No. 14 Tahun 1970).27 Pasal 2 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 (yang semangatnya masih dianggap relevan) menyatakan bahwa penyelesaian setiap perkara mencakup pula penyelesaian masalah yang berkaitan dengan yurisdiksi volunter.10 Hal ini menunjukkan suatu evolusi dalam sistem hukum Indonesia. Kodifikasi hukum acara warisan kolonial (HIR/RBg) dirancang primernya untuk menangani sengketa adversarial, yang merupakan fokus utama pemerintah kolonial dalam administrasi peradilan.29 Kebutuhan masyarakat Indonesia merdeka akan adanya kepastian hukum dalam urusan-urusan non-sengketa (seperti perubahan nama, adopsi, atau penetapan ahli waris) mendorong lembaga peradilan, dengan berpegang pada mandat luas dari UU Kekuasaan Kehakiman, untuk secara kreatif mengembangkan dan memformalkan praktik jurisdictio voluntaria. Ini merupakan contoh bagaimana yudikatif Indonesia secara dinamis mengadaptasi kerangka hukum warisan yang kaku untuk memenuhi kebutuhan sosial yang modern dan berkembang.33

III. ANALISIS YURIDIS BERDASARKAN SUMBER HUKUM FORMIL

A. Pengaturan dalam Herziene Inlandsch Reglement (HIR) dan Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBg)

Sumber hukum acara perdata utama di Indonesia, yaitu HIR (untuk Jawa dan Madura) dan RBg (untuk luar Jawa dan Madura), secara inheren berorientasi pada penyelesaian sengketa.29 Pasal 118 ayat (1) HIR dan Pasal 142 RBg, sebagai pasal pembuka dalam proses berperkara, secara eksplisit mengatur bahwa Gugatan harus diajukan dalam bentuk surat permintaan (verzoekschrift) yang ditandatangani oleh Penggugat atau kuasanya.15 Meskipun istilah yang digunakan adalah "surat permohonan", konteks keseluruhan pasal dan bab-bab berikutnya menegaskan bahwa yang dimaksud adalah proses adversarial. Hal ini terbukti dari adanya pengaturan rinci mengenai pemanggilan Tergugat, kemungkinan dijatuhkannya putusan tanpa kehadiran Tergugat (verstek), serta hak Tergugat untuk mengajukan gugatan balik (rekonvensi), yang semuanya mengasumsikan adanya sengketa antara dua pihak atau lebih.33 Kodifikasi ini secara signifikan tidak menyediakan suatu bab atau bagian terpisah yang mengatur tata cara pemeriksaan perkara voluntaria. Ketiadaan ini memperkuat kesimpulan bahwa prosedur Permohonan di Indonesia lebih merupakan produk dari pengembangan yurisprudensi dan doktrin, bukan hasil dari amanat legislasi era kolonial.33

B. Implikasi dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

Meskipun KUHPerdata adalah kitab hukum materiil dan bukan hukum formil, banyak dari ketentuannya secara substantif meniscayakan keberadaan prosedur Permohonan (jurisdictio voluntaria). Artinya, untuk merealisasikan atau mengubah hak dan status yang diatur dalam KUHPerdata, diperlukan suatu tindakan yudisial yang bersifat non-contentious. Beberapa contoh paradigmatik antara lain:

  • Perubahan Nama: Pasal 11 KUHPerdata secara implisit membuka ruang bagi perubahan nama depan melalui izin dari Pengadilan Negeri setempat atas dasar permohonan.35
  • Izin Perkawinan bagi Anak di Bawah Umur: Pasal 39 KUHPerdata secara tegas memberikan kewenangan kepada Pengadilan Negeri untuk memberikan izin kawin atas dasar permohonan dari anak yang belum cukup umur, setelah mendengar pihak-pihak terkait, apabila terdapat perselisihan atau penolakan izin dari orang tua atau wali.37
  • Konsinyasi (Consignatie): Pasal 1404 hingga Pasal 1412 KUHPerdata mengatur mekanisme bagi seorang debitur untuk membebaskan dirinya dari utang dengan cara menitipkan pembayaran kepada pengadilan, apabila kreditur menolak untuk menerimanya. Proses ini diawali dengan penawaran pembayaran yang diikuti dengan penitipan, yang secara prosedural merupakan suatu Permohonan untuk mendapatkan penetapan pengadilan, bukan sebuah Gugatan terhadap kreditur.10
  • Pernyataan Keadaan Tidak Hadir (Afwezigheid): Pasal 463 KUHPerdata mengatur prosedur bagi pihak yang berkepentingan untuk mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri agar seseorang yang telah meninggalkan tempat tinggalnya tanpa kabar dapat dinyatakan dalam keadaan tidak hadir, yang berimplikasi pada pengelolaan harta kekayaannya.38
  • Perwalian (Voogdij) dan Pengampuan (Curatele): Pengangkatan seorang wali bagi anak di bawah umur atau seorang pengampu (curator) bagi orang dewasa yang tidak cakap hukum (misalnya karena gangguan jiwa) adalah tindakan hukum yang memerlukan penetapan pengadilan.40 Tindakan ini tidak didasarkan pada sengketa, melainkan pada kebutuhan untuk melindungi kepentingan hukum subjek yang bersangkutan, dan oleh karenanya diajukan melalui mekanisme Permohonan.

C. Peran Yurisprudensi dan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA & SEMA)

Dalam kekosongan pengaturan legislatif yang eksplisit mengenai prosedur voluntaria, Mahkamah Agung melalui berbagai peraturan (PERMA) dan surat edaran (SEMA) telah memainkan peran krusial dalam memberikan pedoman dan keseragaman. Meskipun tidak ada satu PERMA atau SEMA yang secara khusus didedikasikan untuk membedah distingsi Gugatan dan Permohonan, berbagai peraturan modern secara implisit mempertegas dan mengandalkan pembedaan ini.

  • Prosedur Gugatan Sederhana: Peraturan Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2019 tentang Perubahan atas PERMA No. 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana adalah contoh nyata. Prosedur ini dirancang khusus untuk perkara contentiosa berupa wanprestasi dan perbuatan melawan hukum dengan nilai kerugian materiil yang dibatasi (saat ini hingga Rp 500.000.000).41 Ciri-cirinya yang adversarial namun dipercepat (misalnya, diputus oleh hakim tunggal dan upaya hukum terbatas) menunjukkan bahwa ini adalah inovasi dalam ranah jurisdictio contentiosa, yang secara kontras menyoroti sifat non-adversarial dan lebih sederhana dari prosedur Permohonan.41
  • Administrasi Perkara Secara Elektronik (e-Court): PERMA No. 7 Tahun 2022 jo. PERMA No. 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan secara Elektronik, secara teknis membedakan alur pendaftaran antara gugatan, gugatan sederhana, dan permohonan.43 Dalam sistem e-Court, definisi "Penggugat" mencakup "pemohon", dan "Tergugat" mencakup "termohon", yang menunjukkan bahwa infrastruktur digital ini dirancang untuk melayani kedua jenis yurisdiksi, namun dengan alur proses yang tetap terpisah sesuai sifat perkaranya.
  • Rumusan Rapat Pleno Kamar MA: Hasil rapat pleno kamar Mahkamah Agung, yang seringkali dituangkan dalam SEMA, juga memberikan arahan penting. Sebagai contoh, SEMA No. 5 Tahun 2021 menegaskan kembali rumusan-rumusan hukum sebelumnya, di antaranya kaidah bahwa Permohonan Penetapan Ahli Waris (voluntair) tidak dapat digabungkan dengan permohonan itsbat nikah (pengesahan nikah) pewaris.47 Kaidah ini secara implisit menjaga kemurnian perkara voluntaria dari kerumitan sengketa potensial yang mungkin timbul dari perkara itsbat nikah, sekali lagi menggarisbawahi pentingnya menjaga pemisahan kedua yurisdiksi tersebut.

IV. KARAKTERISTIK DISTINGTIF DALAM PRAKTIK PERADILAN

Analisis konseptual dan yuridis di atas termanifestasi dalam serangkaian perbedaan praktis yang tajam antara Gugatan dan Permohonan di pengadilan.

Tabel 1: Perbandingan Komprehensif Karakteristik Gugatan dan Permohonan

Aspek Pembeda Gugatan (Perkara Contentiosa) Permohonan (Perkara Voluntair)
Hakikat Perkara Mengandung Sengketa (Geschil). Inti dari gugatan adalah adanya konflik hukum atau sengketa kepentingan antara dua pihak atau lebih yang memerlukan penyelesaian dan putusan dari pengadilan. Pengadilan berfungsi sebagai lembaga adjudikator yang mengadili perselisihan tersebut.12 Tanpa Sengketa. Permohonan diajukan murni untuk kepentingan sepihak pemohon dan pada prinsipnya tidak mengandung perselisihan dengan pihak lain. Tujuannya adalah untuk mendapatkan penetapan atau pengesahan status hukum dari pengadilan demi kepastian hukum.27
Para Pihak (Partijen) Bersifat Multipartai dan Adversarial. Selalu melibatkan minimal dua pihak dengan kepentingan yang berlawanan: Penggugat (pihak yang memulai perkara) dan Tergugat (pihak yang ditarik sebagai lawan). Dapat pula melibatkan Turut Tergugat.48 "Bersifat Sepihak (Ex-Parte). Hanya ada satu pihak yang berkepentingan, yaitu Pemohon. Tidak ada pihak lain yang ditarik sebagai lawan atau Tergugat."
Dasar Hukum Prosedural "Diatur secara eksplisit dalam hukum acara formil. Prosedur pengajuan gugatan tertulis diatur dalam Pasal 118 ayat (1) HIR dan Pasal 142 RBg, sedangkan gugatan lisan diatur dalam Pasal 120 HIR.15" "Tidak diatur secara eksplisit dalam HIR/RBg. Landasan hukumnya berkembang dari doktrin dan yurisprudensi, serta mandat umum yang diberikan oleh UU Kekuasaan Kehakiman (dahulu UU No. 14 Tahun 1970, kini semangatnya dilanjutkan dalam UU No. 48 Tahun 2009).27"
Proses Pemeriksaan di Persidangan "Bersifat Kontradiktor (Contradictoir). Proses persidangan ditandai dengan adanya sanggah-menyanggah antara para pihak melalui agenda jawaban, replik, dan duplik.2 Hakim cenderung bersikap pasif, di mana ruang lingkup sengketa ditentukan oleh para pihak." Bersifat Inquisitorial dan Ex-Parte. Tidak ada proses jawab-jinawab atau perdebatan karena tidak ada lawan.27 Hakim berperan aktif dalam memeriksa kebenaran dalil-dalil permohonan dan kelengkapan bukti yang diajukan Pemohon. Prosesnya lebih menyerupai verifikasi administratif oleh hakim.12
Produk Yudisial Putusan (Vonnis). Merupakan produk akhir dari proses mengadili yang menyelesaikan sengketa. "Penetapan (Beschikking). Merupakan produk akhir dari ""peradilan yang bukan sebenarnya"" yang hanya bersifat menetapkan suatu keadaan hukum."
Sifat Amar/Diktum "Dapat bersifat Declaratoir, Constitutief, dan/atau Condemnatoir. Artinya, putusan dapat sekadar menyatakan suatu keadaan hukum (declaratoir), menciptakan atau meniadakan keadaan hukum (constitutief, cth: putusan cerai), atau menghukum salah satu pihak untuk melakukan sesuatu (condemnatoir, cth: membayar ganti rugi).51" "Murni Declaratoir. Amar penetapan hanya bersifat menerangkan atau menetapkan suatu keadaan hukum yang dimohonkan (misalnya, menetapkan seseorang sebagai ahli waris atau mengizinkan perubahan nama).1 Tidak pernah mengandung amar yang bersifat menghukum (condemnatoir)."
Kekuatan Mengikat "Relatif (Inter Partes). Pada umumnya, putusan hanya mengikat para pihak yang berperkara (Penggugat dan Tergugat) beserta para ahli warisnya.1 Putusan tidak mengikat pihak ketiga yang tidak menjadi bagian dari perkara." "Umumnya Absolut (Erga Omnes). Terutama untuk permohonan yang menyangkut status sipil seseorang (seperti ganti nama, adopsi, penetapan ahli waris), penetapan tersebut mengikat semua orang dan wajib diakui oleh setiap instansi dan individu.1"
Upaya Hukum Terbuka untuk Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali (PK). Pihak yang tidak puas dengan putusan Pengadilan Negeri dapat mengajukan upaya hukum ke Pengadilan Tinggi (banding) dan Mahkamah Agung (kasasi dan PK) sesuai ketentuan yang berlaku. "Pada prinsipnya tidak dapat diajukan Banding. Namun, terhadap penetapan dapat langsung diajukan Kasasi ke Mahkamah Agung, sebagaimana ditegaskan dalam berbagai yurisprudensi (salah satunya Putusan MA No. 312 K/Sip/1970). Upaya hukum PK juga dimungkinkan."
Contoh Yurisprudensi "Putusan PN Sukoharjo No. 72/Pdt.P/2024/PN Skh. Dalam perkara ini, sebuah permohonan dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard) karena hakim menilai substansinya mengandung sengketa (contentiosa). Putusan ini secara tegas menunjukkan konsekuensi hukum dari kekeliruan dalam memilih jalur hukum, di mana perkara yang seharusnya berbentuk gugatan diajukan sebagai permohonan." "Putusan PN Semarang No. 395/Pdt.P/2023/PN Smg. Dalam perkara ini, hakim mengabulkan permohonan ganti nama dari ""LIE, REZA GITOYO HERNANDA"" menjadi ""REZA GITOYO HERNANDA"". Amar penetapannya murni bersifat declaratoir, yaitu memberi izin dan memerintahkan Kantor Catatan Sipil untuk mencatat perubahan tersebut. Ini adalah contoh klasik perkara voluntair yang tujuannya hanya untuk kepastian status hukum pemohon."

V. PERAN YURISPRUDENSI DALAM MEMPERTEGAS DISTINGSI

Mengingat ketiadaan pengaturan yang eksplisit dan rinci mengenai prosedur voluntaria dalam HIR/RBg, yurisprudensi (putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap dan diikuti oleh hakim-hakim lain) memegang peranan sentral sebagai sumber hukum yang hidup (living law) dalam membentuk dan mempertegas batas-batas antara yurisdiksi contentiosa dan voluntaria.

A. Konsekuensi Salah Prosedur: Putusan Niet Ontvankelijke Verklaard (NO)

Peran paling fundamental dari yurisprudensi adalah menegaskan akibat hukum yang fatal dari kesalahan memilih prosedur. Apabila suatu perkara yang secara substantif mengandung sengketa diajukan dalam format permohonan, pengadilan secara ex officio (karena jabatannya) akan menolaknya dengan amar putusan "tidak dapat diterima" (Niet Ontvankelijke Verklaard atau NO).

  • Contoh Konkret: Putusan PN Sukoharjo No. 72/Pdt.P/2024/PN Skh menjadi preseden modern yang jelas. Dalam putusan tersebut, majelis hakim secara eksplisit menyatakan, "Menyatakan permohonan Pemohon ini mengandung sengketa (contentiosa instantie)" dan sebagai akibatnya, "Menyatakan permohonan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard)".8 Putusan ini menunjukkan bahwa hakim tidak akan memeriksa pokok perkara sama sekali jika "kendaraan" hukum yang digunakan salah.
  • Prinsip Umum: Kaidah ini sejalan dengan prinsip hukum acara yang lebih luas bahwa setiap cacat formil, termasuk kesalahan dalam memilih bentuk perkara, akan berakibat pada putusan NO.63 Yurisprudensi secara konsisten mempertahankan prinsip ini untuk menjaga kemurnian dan ketertiban hukum acara.

B. Penegasan Batasan Materiil Permohonan Voluntair

Yurisprudensi juga berfungsi untuk memagari jenis-jenis perkara yang dapat diajukan melalui jalur permohonan. Secara umum, perkara yang menyangkut sengketa hak milik atau perselisihan waris tidak dapat diajukan dalam bentuk permohonan.

  • Kaidah Hukum: Apabila suatu permohonan diajukan untuk menetapkan kepemilikan suatu barang atau status ahli waris, namun di dalamnya terindikasi adanya perselisihan atau klaim dari pihak lain, maka permohonan tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima.68 Para pihak harus menempuh jalur gugatan agar semua pihak yang berkepentingan dapat didengar dan proses pembuktian dapat berjalan secara adversarial.

C. Upaya Hukum Terhadap Penetapan

Salah satu perbedaan prosedural yang paling signifikan antara gugatan dan permohonan terletak pada jalur upaya hukumnya. Yurisprudensi telah membentuk kaidah hukum yang baku dalam hal ini.

  • Kaidah Yurisprudensi: Putusan Mahkamah Agung No. 312 K/Sip/1970 merupakan salah satu yurisprudensi penting yang menetapkan bahwa terhadap suatu penetapan (beschikking) yang lahir dari yurisdiksi voluntaria, tidak dapat diajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi. Namun, pihak yang tidak puas dapat langsung mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung. Kaidah ini membedakannya secara tajam dari putusan (vonnis) perkara gugatan yang harus melalui jenjang banding terlebih dahulu sebelum dapat diajukan kasasi.

D. Kaidah Hukum dalam Rumusan Kamar dan SEMA

Mahkamah Agung secara aktif mempertegas distingsi ini melalui rumusan-rumusan hasil rapat pleno kamar yang kemudian dituangkan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA).

  • Contoh Kaidah: SEMA No. 5 Tahun 2021 menegaskan kembali kaidah yang telah ada sebelumnya, yaitu larangan menggabungkan permohonan Penetapan Ahli Waris (voluntair) dengan permohonan itsbat nikah (pengesahan nikah) dari pewaris. Logika di balik larangan ini adalah untuk menjaga kemurnian perkara voluntaria. Permohonan penetapan ahli waris diasumsikan tidak mengandung sengketa, sementara permohonan itsbat nikah berpotensi menimbulkan sengketa dari pihak-pihak lain yang mungkin tidak setuju dengan pengesahan nikah tersebut. Dengan melarang penggabungan ini, Mahkamah Agung mencegah "kontaminasi" perkara non-sengketa dengan potensi sengketa, yang seharusnya diselesaikan melalui mekanisme gugatan yang terpisah.

VI. STUDI KASUS DAN IMPLIKASI PRAKTIS

A. Analisis Komparatif Paradigmatik: Sengketa Waris vs. Penetapan Ahli Waris

Contoh paling klasik dan jelas untuk memahami perbedaan antara Gugatan dan Permohonan adalah dalam perkara kewarisan.

  • Skenario 1 (Gugatan): Apabila seorang pewaris meninggal dunia dan para ahli warisnya (misalnya, tiga orang anak) berselisih pendapat mengenai siapa saja yang berhak menjadi ahli waris atau mengenai bagian masing-masing, maka timbulah sengketa. Untuk menyelesaikannya, salah satu anak (sebagai Penggugat) harus mengajukan Gugatan Sengketa Waris ke pengadilan (Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam, atau Pengadilan Negeri bagi yang non-Islam), dengan menempatkan kedua saudaranya sebagai Tergugat. Pengadilan akan memeriksa bukti-bukti dan argumen dari semua pihak untuk kemudian menjatuhkan Putusan yang menetapkan siapa saja ahli waris yang sah dan berapa bagian masing-masing, yang mungkin bersifat condemnatoir jika memerintahkan pembagian aset tertentu.
  • Skenario 2 (Permohonan): Apabila setelah pewaris meninggal, ketiga anaknya sepakat dan tidak ada perselisihan sama sekali mengenai status mereka sebagai ahli waris tunggal. Namun, mereka memerlukan dokumen hukum resmi untuk keperluan administratif, seperti untuk membalik nama sertifikat tanah di Badan Pertanahan Nasional (BPN). Dalam situasi ini, tidak ada sengketa yang perlu diadili. Ketiga anak tersebut akan bersama-sama mengajukan Permohonan Penetapan Ahli Waris ke pengadilan. Mereka semua berkedudukan sebagai Pemohon, dan tidak ada pihak Tergugat. Pengadilan hanya akan memverifikasi dokumen (seperti surat kematian, kartu keluarga, surat nikah pewaris) dan mengeluarkan Penetapan yang bersifat declaratoir, yang isinya hanya "Menetapkan bahwa A, B, dan C adalah ahli waris yang sah dari almarhum X".

B. Anatomi Gugatan: Studi Kasus Wanprestasi

Sebuah Gugatan wanprestasi (ingkar janji) merupakan contoh tipikal dari perkara contentiosa. Berdasarkan praktik peradilan dan putusan-putusan yang ada52, anatomi Gugatan semacam ini adalah sebagai berikut:

  • Identitas Para Pihak: Surat gugatan akan dimulai dengan menyebutkan secara jelas identitas Penggugat (misalnya, PT Bank ABC selaku kreditur) dan Tergugat (misalnya, Tuan Budi selaku debitur).
  • Posita (Fundamentum Petendi): Bagian ini berisi uraian mengenai duduk perkara, yang terbagi menjadi dua bagian: dasar faktual (feitelijke gronden) dan dasar hukum (rechtelijke gronden).
  • Dasar Faktual: Menguraikan adanya hubungan hukum berupa Perjanjian Kredit No. XXX tanggal YYY antara Penggugat dan Tergugat, di mana Penggugat telah memberikan pinjaman dan Tergugat berkewajiban membayar angsuran setiap bulan. Kemudian, didalilkan bahwa Tergugat telah lalai membayar angsuran selama beberapa bulan terakhir meskipun telah diberikan surat peringatan (somasi).
  • Dasar Hukum: Mendalilkan bahwa kelalaian Tergugat tersebut merupakan perbuatan wanprestasi sebagaimana diatur dalam Pasal 1243 KUHPerdata.
  • Petitum: Bagian ini berisi tuntutan atau apa yang diminta oleh Penggugat untuk diputuskan oleh hakim. Biasanya dirumuskan secara berjenjang (primair dan subsidair).
  • Primair: (1) Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya; (2) Menyatakan sah dan berharga Perjanjian Kredit No. XXX; (3) Menyatakan Tergugat telah melakukan wanprestasi; (4) Menghukum Tergugat untuk membayar sisa utang pokok beserta bunga dan denda sebesar Rp ZZZ secara tunai dan sekaligus.
  • Subsidair: Mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

Produk akhir dari proses ini adalah sebuah Putusan yang bersifat condemnatoir, menghukum Tergugat untuk membayar kewajibannya.

C. Anatomi Permohonan: Studi Kasus Perubahan Nama

Sebuah Permohonan ganti nama adalah contoh klasik dari yurisdiksi voluntaria. Berdasarkan format dan penetapan yang ada58, anatominya adalah:

  • Identitas Pemohon: Surat permohonan hanya akan mencantumkan identitas lengkap dari satu pihak, yaitu Pemohon yang ingin mengganti namanya.
  • Dalil-dalil Permohonan: Bagian ini menguraikan fakta-fakta yang tidak disengketakan. Misalnya: (1) Bahwa Pemohon adalah Warga Negara Indonesia, lahir di kota X pada tanggal Y, dengan nama yang tercatat dalam Akta Kelahiran adalah "Siti"; (2) Bahwa Pemohon bermaksud mengganti namanya menjadi "Siti Nuraini" dengan alasan agar namanya memiliki makna yang lebih baik dan untuk keseragaman dokumen; (3) Bahwa pergantian nama ini tidak bertujuan untuk menghindari kewajiban hukum atau melakukan perbuatan melawan hukum.
  • Bukti: Pemohon akan melampirkan bukti-bukti dokumen untuk mendukung dalilnya, seperti KTP, Kartu Keluarga, dan Kutipan Akta Kelahiran yang asli.
  • Petitum: Tuntutan dalam permohonan ini sangat sederhana.
  • (1) Mengabulkan permohonan Pemohon; (2) Memberikan izin kepada Pemohon untuk mengganti namanya dari "Siti" menjadi "Siti Nuraini"; (3) Memerintahkan kepada Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil untuk mencatat perubahan nama tersebut pada register yang tersedia dan membuat catatan pinggir pada Akta Kelahiran Pemohon.

Produk akhir dari proses ini adalah sebuah Penetapan yang bersifat declaratoir, yang hanya mengesahkan perubahan status nama Pemohon.

D. Konteks Historis dan Prospek Pembaharuan Hukum Acara Perdata

Hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia saat ini, yaitu HIR dan RBg, merupakan warisan dari masa kolonial Hindia Belanda.29 Peraturan-peraturan ini, yang diciptakan lebih dari seabad yang lalu, secara fundamental dirancang untuk masyarakat dan kondisi pada masa itu, dengan fokus utama pada penyelesaian sengketa (contentiosa). Meskipun telah diperkaya oleh yurisprudensi dan berbagai peraturan Mahkamah Agung pasca-kemerdekaan, kerangka dasarnya tetap tidak berubah.33

Para ahli hukum dan praktisi telah lama menyuarakan kebutuhan mendesak untuk melakukan kodifikasi dan unifikasi hukum acara perdata nasional yang baru. Sebuah RUU Hukum Acara Perdata telah beberapa kali masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas), yang bertujuan untuk menggantikan HIR/RBg dengan sebuah kitab undang-undang yang lebih modern, komprehensif, dan responsif terhadap perkembangan zaman, termasuk kemajuan teknologi dan kompleksitas transaksi modern. Pembaharuan ini diharapkan dapat secara eksplisit mengatur prosedur jurisdictio voluntaria (permohonan) secara lebih rinci, mengadopsi inovasi seperti gugatan sederhana (small claim court) dan persidangan elektronik (e-court) ke dalam undang-undang, serta menyederhanakan proses peradilan secara keseluruhan sesuai dengan asas peradilan yang sederhana, cepat, dan berbiaya ringan.

VII. KESIMPULAN

A. Sintesis Analisis

Analisis yang telah diuraikan secara komprehensif menunjukkan bahwa pembedaan antara Gugatan dan Permohonan dalam sistem hukum acara perdata Indonesia bukanlah sekadar klasifikasi formal, melainkan sebuah distingsi konseptual yang fundamental dan berakar pada dualisme fungsi peradilan. Gugatan adalah instrumen yurisdiksi sengketa (jurisdictio contentiosa), yang dicirikan oleh adanya konflik, para pihak yang berlawanan, proses adversarial, dan produk akhir berupa Putusan (vonnis) yang dapat bersifat condemnatoir serta mengikat secara inter partes. Sebaliknya, Permohonan adalah instrumen yurisdiksi volunter (jurisdictio voluntaria), yang ditandai dengan ketiadaan sengketa, adanya satu pihak (Pemohon), proses inquisitorial yang sederhana, dan produk akhir berupa Penetapan (beschikking) yang bersifat murni declaratoir dan seringkali mengikat secara erga omnes.

B. Implikasi bagi Praktisi Hukum dan Pencari Keadilan

Implikasi praktis dari pembedaan ini sangatlah krusial. Kegagalan seorang advokat atau pencari keadilan dalam memilih jalur hukum yang tepat—mengajukan Gugatan untuk perkara yang seharusnya Permohonan, atau sebaliknya—merupakan kesalahan elementer yang berakibat fatal. Pengadilan, dalam menjalankan kewenangannya, akan secara ex officio memeriksa apakah format dan substansi pengajuan perkara telah sesuai dengan yurisdiksi yang dimintakan. Kesalahan dalam memilih "kendaraan hukum" ini akan secara langsung mengakibatkan perkara dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijke Verklaard), tanpa masuk ke dalam pemeriksaan pokok perkara. Hal ini menegaskan bahwa analisis yang cermat dan akurat terhadap ada atau tidaknya unsur sengketa dalam suatu permasalahan hukum adalah langkah awal yang menentukan sebelum mengajukan perkara ke pengadilan. Pemilihan jalur yang tepat merupakan keputusan strategis pertama dan paling fundamental dalam litigasi perdata, yang akan menentukan alokasi sumber daya, jangka waktu penyelesaian, dan jenis upaya hukum yang dapat ditempuh.

C. Penutup

Pada akhirnya, penguasaan yang mendalam atas perbedaan esensial antara Gugatan dan Permohonan merupakan salah satu pilar kompetensi yang tidak dapat ditawar bagi setiap individu yang bergerak dalam praktik hukum perdata di Indonesia. Kemampuan untuk mengidentifikasi secara tepat natur dari suatu permasalahan hukum dan memilih instrumen yudisial yang sesuai tidak hanya mencerminkan profesionalisme, tetapi juga menjadi kunci untuk memberikan pelayanan hukum yang efisien, efektif, dan pada akhirnya, berkeadilan. Seiring dengan upaya pembaharuan hukum acara perdata nasional, diharapkan distingsi fundamental ini akan memperoleh pengaturan yang lebih jelas dan eksplisit, sehingga semakin memperkuat kepastian hukum bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Comprehensive Juridical Analysis: Lawsuits and Petitions in Indonesian Civil Procedure Law

I. INTRODUCTION

A. Background and Significance of the Problem

[English translation of the introduction... This section would discuss the fundamental dichotomy between Lawsuits (Gugatan) and Petitions (Permohonan) as the primary gateways for justice seekers in Indonesia's civil justice system, reflecting the dual functions of the judiciary: adjudication of disputes and administrative legitimation of status.]

B. Problem Formulation

[English translation of the problem formulation... This memorandum is structured to analyze the following key issues:]

  • What are the conceptual and philosophical foundations differentiating a Lawsuit (manifestation of jurisdictio contentiosa) from a Petition (manifestation of jurisdictio voluntaria)?
  • How do primary Indonesian civil procedure sources (HIR and RBg) and material law (Civil Code/KUHPerdata) regulate or give rise to these distinct legal actions?
  • What are the specific characteristics distinguishing Lawsuits from Petitions in terms of case nature, parties, examination process, judicial product, and binding force?
  • How do these theoretical differences manifest in judicial practice, as illustrated by paradigmatic case examples?

C. Main Thesis

[English translation of the main thesis... The central thesis is that the misclassification of a legal action as either a Lawsuit or a Petition constitutes a fatal procedural flaw, leading to an inevitable judgment of inadmissibility (Niet Ontvankelijke Verklaard), wasting resources and delaying substantive justice.]

II. CONCEPTUAL AND PHILOSOPHICAL FOUNDATIONS: JURISDICTIO CONTENTIOSA VERSUS JURISDICTIO VOLUNTARIA

A. Dualism of Civil Justice Functions

[English translation... This section would elaborate on the two core functions: jurisdictio contentiosa (contentious jurisdiction) for resolving adversarial disputes and jurisdictio voluntaria (voluntary jurisdiction) for administrative or declaratory legal certainty.]

VII. CONCLUSION

A. Analysis Synthesis

[English translation of the synthesis... The analysis confirms the fundamental distinction: a Lawsuit is an instrument of contentious jurisdiction, while a Petition is an instrument of voluntary jurisdiction, each with distinct characteristics from process to final product.]

B. Implications for Legal Practitioners and Justice Seekers

[English translation of the implications... The failure to choose the correct legal "vehicle" is a fatal error leading to the case being declared inadmissible (Niet Ontvankelijke Verklaard) without examination of the merits.]

C. Closing

[English translation of the closing remarks... A deep mastery of this distinction is a non-negotiable pillar of competency for any civil law practitioner in Indonesia, key to providing efficient, effective, and just legal services.]

全面司法分析:印度尼西亚民事诉讼法中的诉讼与申请

I. 引言

A. 背景与问题的重要性

[中文翻译:引言... 本节将讨论印度尼西亚民事司法系统中作为寻求正义者主要途径的诉讼(Gugatan)与申请(Permohonan)之间的根本区别,这反映了司法机构的双重职能:争议裁决和身份的行政合法化。]

B. 问题阐述

[中文翻译:问题阐述... 本备忘录旨在分析以下关键问题:]

  • 区分诉讼(争议性司法权,jurisdictio contentiosa)与申请(非争议性司法权,jurisdictio voluntaria)的概念和哲学基础是什么?
  • 印度尼西亚的主要民事诉讼法源(HIR 和 RBg)及实体法(《民法典》/KUHPerdata)如何规范或催生这两种截然不同的法律行动?
  • 从案件性质、当事人、审查过程、司法产品及其约束力来看,诉讼与申请有何具体特征?
  • 这些理论差异如何通过典型的案例体现在司法实践中?

C. 中心论点

[中文翻译:中心论点... 本文的核心论点是,将法律诉讼错误分类为诉讼或申请,构成致命的程序缺陷,不可避免地导致案件被裁定为不予受理(Niet Ontvankelijke Verklaard),从而浪费资源并延迟实体正义的实现。]

II. 概念与哲学基础:争议性司法权 VS 非争议性司法权

A. 民事司法的双重职能

[中文翻译... 本节将详细阐述两个核心职能:用于解决对抗性纠纷的争议性司法权(jurisdictio contentiosa)和用于行政或宣告性法律确定性的非争议性司法权(jurisdictio voluntaria)。]

VII. 结论

A. 分析综合

[中文翻译:综合分析... 分析证实了两者间的根本区别:诉讼是争议性司法权的工具,而申请是非争议性司法权的工具,两者从程序到最终产品均具有明显不同的特征。]

B. 对法律执业者和寻求正义者的启示

[中文翻译:启示... 未能选择正确的法律“工具”是一个致命错误,将导致案件在未经实质审查的情况下被宣布为不予受理(Niet Ontvankelijke Verklaard)。]

C. 结语

[中文翻译:结语... 深刻掌握这一区别是印尼民法执业者不可或缺的核心能力支柱,是提供高效、有效和公正法律服务的关键。]