MEMORANDUM HUKUM

PERIHAL: Analisis Komprehensif Mengenai Hukum Kepailitan Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan Indonesia

I. PENDAHULUAN

Latar Belakang dan Konteks

Hukum kepailitan merupakan suatu disiplin hukum yang kompleks dan multifaset, berfungsi sebagai pilar fundamental dalam ekosistem ekonomi dan perdagangan modern. Jauh melampaui sekadar mekanisme penyelesaian utang-piutang, hukum kepailitan adalah instrumen yuridis yang dirancang untuk memberikan kepastian hukum, menegakkan keadilan, dan mendorong efisiensi bagi seluruh pelaku usaha. Di Indonesia, kerangka hukum kepailitan telah melalui evolusi yang signifikan, mencerminkan perjalanan ekonomi dan politik bangsa. Berawal dari warisan hukum kolonial Belanda, yaitu Faillissements-verordening (Staatsblad 1905:217 jo. 1906:348), sistem ini terbukti tidak lagi memadai untuk menjawab kompleksitas dan dinamika bisnis pasca-kemerdekaan yang semakin dinamis.

Krisis moneter yang melanda Indonesia pada tahun 1997-1998 menjadi katalisator utama bagi reformasi hukum kepailitan secara fundamental. Krisis tersebut mengekspos kelemahan-kelemahan inheren dalam sistem peninggalan kolonial, yang dianggap lamban, birokratis, dan tidak efektif dalam menangani lonjakan sengketa utang-piutang korporasi berskala masif.1 Sebagai respons cepat dan di bawah tekanan kesepakatan dengan International Monetary Fund (IMF), pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 1998, yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998. Puncak dari reformasi ini adalah lahirnya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut "UU Kepailitan & PKPU"), yang hingga kini menjadi landasan utama hukum kepailitan di Indonesia.

Tujuan dan Ruang Lingkup Memorandum

Memorandum hukum ini bertujuan untuk menyajikan sebuah analisis yuridis yang mendalam, akademis, dan komprehensif mengenai kerangka hukum kepailitan di Indonesia. Analisis ini tidak hanya akan menguraikan norma-norma hukum positif yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan, tetapi juga akan mengupas landasan filosofis, dinamika praktik peradilan, serta isu-isu kontemporer yang membentuk wajah hukum kepailitan saat ini.

Ruang lingkup memorandum ini mencakup:

Metodologi

Analisis dalam memorandum ini disusun dengan menggunakan pendekatan yuridis-normatif yang diperkaya dengan perspektif sosio-legal. Pendekatan ini menitikberatkan pada penelitian terhadap norma hukum positif yang berlaku (law in books) serta penerapannya dalam praktik peradilan dan dampaknya terhadap masyarakat bisnis (law in action). Sumber hukum primer yang menjadi rujukan utama adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), UU Kepailitan & PKPU, serta UU PPSK.5 Untuk memperkaya analisis, memorandum ini juga merujuk pada sumber hukum sekunder berupa doktrin-doktrin hukum, yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia yang relevan, serta literatur hukum dari sumber-sumber terpercaya seperti artikel ilmiah di hukumonline.com dan berbagai jurnal hukum terakreditasi.

Sumber Hukum Kepailitan

Kerangka hukum kepailitan di Indonesia bersumber dari beberapa lapisan peraturan perundang-undangan. Fondasi utamanya adalah Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan & PKPU), yang merupakan lex specialis (hukum khusus) yang mengatur secara komprehensif seluruh prosedur dan akibat hukum kepailitan.9 Selain itu, hukum kepailitan juga berakar pada prinsip-prinsip fundamental dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), khususnya Pasal 1131 dan Pasal 1132, yang menetapkan bahwa seluruh harta kekayaan debitor menjadi jaminan umum bagi para kreditornya.9 Secara historis, hukum kepailitan Indonesia merupakan warisan dari hukum kolonial Belanda, yaitu Faillissements-verordening, yang kemudian digantikan oleh UU Kepailitan & PKPU untuk menyesuaikan dengan kebutuhan ekonomi modern.12 Peraturan perundang-undangan lain yang relevan juga menjadi sumber hukum, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) dan berbagai undang-undang sektoral yang mengatur entitas bisnis tertentu.12

II. LANDASAN FILOSOFIS DAN PRINSIP-PRINSIP DASAR KEPAILITAN

Realisasi Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata

Secara filosofis, hukum kepailitan merupakan instrumen hukum prosedural untuk merealisasikan dua asas fundamental yang terkandung dalam hukum perdata substantif Indonesia, yaitu Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata. Pasal 1131 KUH Perdata meletakkan prinsip jaminan umum (algemeen verhaal) bahwa "segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan".14 Prinsip ini menegaskan bahwa seluruh aset seorang debitor pada hakikatnya merupakan jaminan umum bagi pelunasan utang-utangnya.

Selanjutnya, Pasal 1132 KUH Perdata menyatakan bahwa kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua kreditor, dan hasilnya dibagi secara proporsional di antara mereka, kecuali ada alasan yang sah untuk didahulukan.14 Tanpa adanya lembaga kepailitan, realisasi dari kedua pasal ini akan berjalan secara parsial, tidak adil, dan tidak efisien. Setiap kreditor akan berlomba-lomba mengajukan gugatan dan sita eksekusi secara individual. Dalam skenario ini, berlaku adagium "siapa cepat, dia dapat" (vigilantibus non dormientibus aequitas subvenit), yang berpotensi besar merugikan kreditor lain yang mungkin memiliki piutang lebih besar namun kalah cepat dalam bertindak. Lembaga kepailitan hadir untuk mentransformasikan eksekusi individual yang kacau tersebut menjadi sebuah sita umum (conservatoir beslag) yang bersifat kolektif dan terorganisir, sehingga seluruh harta debitor dapat dibereskan secara adil untuk kepentingan semua kreditor.

Prinsip Paritas Creditorium dan Pari Passu Pro Rata Parte

Jantung dari keadilan distributif dalam hukum kepailitan adalah prinsip paritas creditorium, yang berarti semua kreditor memiliki kedudukan yang setara terhadap harta kekayaan debitor. Sebagai turunan logis dari prinsip ini, berlaku pula prinsip pari passu pro rata parte, yang mengamanatkan bahwa hasil pemberesan harta pailit harus dibagikan secara proporsional (prorata) sesuai dengan besaran piutang masing-masing kreditor.

Namun, penting untuk dipahami bahwa "kesetaraan" yang dimaksud tidak bersifat absolut, melainkan sebuah kesetaraan yang berkeadilan. Prinsip ini pada praktiknya hanya berlaku penuh bagi para kreditor konkuren, yaitu kreditor yang tidak memiliki hak jaminan kebendaan atau hak istimewa lainnya.17 Undang-undang secara eksplisit memberikan pengecualian terhadap prinsip ini dengan mengakui adanya kreditor yang memiliki kedudukan lebih tinggi, yaitu kreditor separatis (pemegang jaminan kebendaan) dan kreditor preferen (pemegang hak istimewa berdasarkan undang-undang). Dengan demikian, sistem kepailitan Indonesia menerapkan kesetaraan yang berjenjang atau hierarkis, di mana pelunasan dilakukan berdasarkan urutan prioritas yang telah ditentukan oleh undang-undang, yang mencerminkan pengakuan terhadap hak-hak yang telah ada sebelum kepailitan terjadi.

Prinsip-Prinsip Lain dalam UU Kepailitan & PKPU

Penjelasan Umum UU Kepailitan & PKPU menggariskan beberapa asas fundamental lain yang menjadi pedoman dalam implementasinya, yang menunjukkan bahwa tujuan kepailitan lebih luas dari sekadar likuidasi 18:

III. PROSEDUR DAN PERSYARATAN PERMOHONAN PAILIT

Syarat Materiel Pengajuan Pailit (Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan & PKPU)

Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan & PKPU menetapkan syarat-syarat materiel yang harus dipenuhi agar seorang debitor dapat dinyatakan pailit. Syarat-syarat ini secara sengaja dirancang untuk dapat dibuktikan secara sederhana dan cepat di muka persidangan, sesuai dengan sifat khusus peradilan niaga.

Adanya Dua Kreditor atau Lebih (Concursus Creditorium)

Syarat fundamental pertama adalah debitor harus memiliki minimal dua orang kreditor.19 Jika debitor hanya memiliki satu kreditor, maka sengketa utang-piutang tersebut diselesaikan melalui mekanisme gugatan perdata biasa di Pengadilan Negeri, bukan melalui Pengadilan Niaga. Syarat ini menegaskan sifat kolektif dari kepailitan, di mana tujuannya adalah untuk mengatur pembagian aset kepada sekumpulan kreditor, bukan untuk menyelesaikan sengketa individual.22 Penjelasan Pasal 2 ayat (1) menegaskan bahwa kreditor yang dimaksud dalam pasal ini mencakup semua jenis kreditor, baik separatis, preferen, maupun konkuren.

Adanya Satu Utang yang Jatuh Waktu dan Dapat Ditagih

Syarat kedua adalah debitor tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih (due and payable).19 Definisi "utang" menurut Pasal 1 angka 6 UU Kepailitan & PKPU sangat luas, mencakup "kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang... baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang".19 Suatu utang dianggap telah jatuh waktu apabila jangka waktu pemenuhan prestasi yang ditentukan dalam perjanjian atau oleh undang-undang telah terlampaui.

Pembuktian Sederhana (Sumir Bewijs)

Pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan & PKPU menyatakan bahwa permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila "terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana" bahwa syarat-syarat dalam Pasal 2 ayat (1) telah terpenuhi. Konsep pembuktian sederhana ini adalah inti dari sifat lex specialis dari hukum acara di Pengadilan Niaga, yang menuntut proses peradilan yang cepat (speedy trial). Tujuannya adalah untuk menghindari perdebatan hukum yang berlarut-larut mengenai eksistensi atau besaran utang, yang seharusnya menjadi ranah pengadilan perdata umum.

Namun, dalam praktiknya, konsep ini menimbulkan ketegangan yang signifikan antara tujuan efisiensi dan keadilan substantif. Syarat yang longgar ini berpotensi disalahgunakan oleh kreditor yang tidak beriktikad baik untuk menekan debitor yang sebenarnya mampu membayar (solvent) namun sedang mengalami kesulitan likuiditas sementara.25 Menyadari potensi ini, Mahkamah Agung dalam beberapa yurisprudensinya telah bertindak sebagai katup pengaman. Dalam putusan-putusan seperti Putusan MA No. 555K/Pdt.Sus-Pailit/2021, Mahkamah Agung membatalkan putusan pailit dari Pengadilan Niaga dengan pertimbangan bahwa sengketa mengenai utang tersebut bersifat kompleks dan tidak dapat dibuktikan secara sederhana, sehingga harus diselesaikan terlebih dahulu di pengadilan perdata. Dinamika ini menunjukkan adanya sebuah "koreksi yudisial" terhadap penerapan UU Kepailitan & PKPU, di mana Mahkamah Agung menyeimbangkan kebutuhan akan proses yang cepat dengan perlindungan terhadap debitor dari penyalahgunaan proses hukum.

Pihak yang Dapat Mengajukan Permohonan Pailit

UU Kepailitan & PKPU mengatur beberapa pihak yang memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan pailit:

Entitas yang Memerlukan Persetujuan Khusus dari Institusi Berwenang

Perkembangan legislatif paling signifikan dalam beberapa tahun terakhir adalah diberlakukannya UU No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK). Undang-undang ini, dengan metode omnibus law, mengubah berbagai peraturan di sektor keuangan, termasuk mencabut sebagian kewenangan yang diatur dalam UU Kepailitan & PKPU.

Secara spesifik, UU PPSK mencabut ketentuan dalam Pasal 2 ayat (3), (4), dan (5) serta Pasal 223 UU Kepailitan & PKPU, dan mengalihkan serta memusatkan kewenangan pengajuan permohonan pailit dan PKPU untuk lembaga jasa keuangan kepada regulator.27 Kini, kewenangan tersebut diatur sebagai berikut:

Perubahan ini merupakan sebuah pergeseran paradigma fundamental dari rezim hukum privat ke arah intervensi publik. Tujuannya adalah untuk mitigasi risiko sistemik. Kegagalan sebuah lembaga keuangan, jika dipicu oleh permohonan pailit dari satu kreditor, dapat menimbulkan efek domino (contagion effect) yang membahayakan stabilitas sistem keuangan nasional. Dengan memusatkan kewenangan di tangan regulator (OJK dan BI), negara memastikan bahwa keputusan untuk memailitkan atau merestrukturisasi lembaga keuangan strategis diambil dengan mempertimbangkan dampaknya secara makroekonomi, bukan hanya dari perspektif penyelesaian utang privat.32

Prosedur Beracara di Pengadilan Niaga

Proses permohonan pailit memiliki hukum acara khusus yang dirancang untuk kecepatan dan efisiensi, yang membedakannya dari peradilan perdata umum:

IV. AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT

Putusan pernyataan pailit menimbulkan akibat hukum yang drastis dan menyeluruh (far-reaching consequences), yang berdampak pada debitor, harta kekayaannya, serta perjanjian-perjanjian yang sedang berjalan.

Terhadap Debitor Pailit

Akibat utama bagi debitor adalah kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus harta kekayaannya. Sesuai Pasal 24 ayat (1) UU Kepailitan & PKPU, sejak tanggal putusan pailit diucapkan, debitor demi hukum kehilangan kewenangan perdatanya atas boedel pailit.35 Berdasarkan Pasal 24 ayat (2), tanggal putusan tersebut dihitung berlaku sejak pukul 00:00 waktu setempat, sebuah prinsip yang dikenal sebagai zero hour rule. Seluruh kewenangan tersebut beralih kepada Kurator yang ditunjuk oleh pengadilan. Setiap tindakan hukum yang dilakukan oleh debitor pailit terhadap hartanya setelah putusan diucapkan menjadi tidak sah dan tidak mengikat harta pailit.

Terhadap Harta Kekayaan (Boedel Pailit)

Putusan pailit mengakibatkan sita umum (general attachment) atas seluruh kekayaan debitor. Pasal 21 UU Kepailitan & PKPU menegaskan bahwa kepailitan meliputi "seluruh kekayaan Debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan". Ini berarti tidak hanya aset yang ada saat itu, tetapi juga pendapatan atau harta yang diperoleh debitor selama proses kepailitan berlangsung (misalnya, warisan atau pendapatan dari pekerjaan) akan masuk ke dalam boedel pailit.33 Namun, terdapat beberapa pengecualian yang diatur dalam Pasal 22, seperti benda-benda kebutuhan pokok, perlengkapan kerja, dan upah sekadarnya yang diperlukan untuk penghidupan debitor dan keluarganya.

Terhadap Jenis-Jenis Perjanjian yang Sedang Berjalan

Kepailitan tidak secara otomatis mengakhiri semua perjanjian yang telah dibuat oleh debitor. UU Kepailitan & PKPU mengatur mekanisme khusus untuk berbagai jenis perjanjian:

Status Penyerahan (Levering) Aset Sebelum Pailit

Status hukum penyerahan atau pengalihan aset (levering) yang dilakukan oleh debitor sebelum dinyatakan pailit sangat bergantung pada waktu dan konteks dilakukannya perbuatan hukum tersebut:

V. PERAN DAN KEWENANGAN PARA AKTOR UTAMA

Proses kepailitan dikelola oleh dua figur sentral yang ditunjuk oleh pengadilan, yaitu Kurator dan Hakim Pengawas. Keduanya bekerja dalam sebuah sistem checks and balances untuk memastikan proses berjalan sesuai hukum, transparan, dan adil bagi semua pihak.

Kurator

Kurator adalah pihak yang berwenang untuk melakukan pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit di bawah pengawasan Hakim Pengawas. Kurator dapat berasal dari Balai Harta Peninggalan (BHP) atau kurator swasta (perorangan) yang terdaftar di kementerian yang berwenang dan memenuhi kualifikasi profesional.

Tugas Utama: Sesuai Pasal 69 UU Kepailitan & PKPU, tugas utama Kurator adalah melakukan pengurusan (beheer) dan/atau pemberesan (vereffening) harta pailit. Pengurusan mencakup segala tindakan untuk mengamankan, memelihara, dan memaksimalkan nilai aset, sementara pemberesan adalah proses likuidasi atau penjualan aset untuk diubah menjadi uang tunai.

Kewenangan Spesifik: Kewenangan Kurator sangat luas dan mencakup aspek manajerial, administratif, dan litigasi, antara lain:

Tanggung Jawab: Profesionalisme dan integritas Kurator sangat ditekankan. Pasal 72 UU Kepailitan & PKPU menyatakan bahwa Kurator bertanggung jawab secara pribadi atas setiap kesalahan atau kelalaiannya dalam menjalankan tugas yang menyebabkan kerugian terhadap harta pailit.

Hakim Pengawas

Hakim Pengawas adalah hakim dari Pengadilan Niaga yang ditunjuk dalam putusan pailit untuk mengawasi kinerja Kurator dan memastikan proses kepailitan berjalan sesuai koridor hukum.

Tugas Utama: Sesuai Pasal 65, tugas utama Hakim Pengawas adalah mengawasi pengurusan dan pemberesan harta pailit yang dilakukan oleh Kurator.

Kewenangan: Hakim Pengawas tidak mengelola aset secara langsung, tetapi perannya krusial dalam memberikan legitimasi, pengawasan, dan kontrol terhadap tindakan-tindakan strategis Kurator. Kewenangannya antara lain:

Hubungan antara Kurator dan Hakim Pengawas ini membentuk mekanisme pengawasan internal yang vital. Hakim Pengawas memastikan bahwa kekuasaan besar yang dimiliki Kurator tidak disalahgunakan dan selalu diarahkan untuk kepentingan kolektif para kreditor.

VI. KLASIFIKASI DAN HAK-HAK KREDITOR

UU Kepailitan & PKPU mengklasifikasikan kreditor ke dalam tiga kategori utama, dengan hak dan prioritas pelunasan yang berbeda-beda, yang merupakan pengecualian dari prinsip paritas creditorium.

Kreditor Separatis

Kreditor separatis adalah kreditor yang piutangnya dijamin dengan jaminan kebendaan, seperti gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, atau hipotek. Mereka memiliki kedudukan yang paling istimewa dalam proses kepailitan.

Hak Eksekusi Langsung: Berdasarkan Pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan & PKPU, kreditor separatis dapat mengeksekusi haknya "seolah-olah tidak terjadi kepailitan" (parate executie).16 Artinya, mereka dapat menjual sendiri objek jaminannya tanpa harus melalui Kurator dan proses pemberesan umum.

Batasan Hak Eksekusi: Hak istimewa ini tidak tanpa batas dan tunduk pada beberapa ketentuan penting:

Kreditor Preferen

Kreditor preferen adalah kreditor yang oleh undang-undang diberikan hak istimewa (privilege) untuk didahulukan pelunasannya karena sifat piutangnya.45 Contoh utamanya adalah piutang negara (pajak) dan piutang pekerja (upah). Hierarki pelunasan di antara kreditor preferen dan separatis sering menjadi perdebatan. Namun, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 67/PUU-XI/2013 telah memberikan penegasan penting dengan menafsirkan Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan. Putusan ini menetapkan bahwa pembayaran upah pekerja/buruh yang terutang harus didahulukan atas semua jenis tagihan, termasuk tagihan dari kreditor separatis dan tagihan negara.

Kreditor Konkuren

Kreditor konkuren adalah semua kreditor lainnya yang tidak memiliki jaminan kebendaan maupun hak istimewa. Mereka berada di urutan terakhir dalam hierarki pelunasan. Hak mereka adalah mendapatkan pembagian sisa dari boedel pailit setelah seluruh tagihan kreditor separatis (dari hasil eksekusi jaminannya) dan kreditor preferen telah dilunasi sepenuhnya. Pembagian di antara sesama kreditor konkuren dilakukan secara ketat berdasarkan prinsip pari passu pro rata parte.45

Proses Verifikasi Piutang

Proses verifikasi piutang (rapat pencocokan piutang) adalah tahapan krusial di mana keabsahan dan besaran tagihan setiap kreditor ditentukan secara formal. Semua kreditor, termasuk separatis, wajib mendaftarkan piutangnya kepada Kurator dalam batas waktu yang ditetapkan. Kurator akan mencocokkan tagihan tersebut dengan catatan utang yang dimiliki debitor.20 Akibat hukum bagi kreditor yang lalai dan tidak mendaftarkan piutangnya sangat fatal: mereka akan kehilangan hak untuk menagih dan mendapatkan bagian dari harta pailit.

VII. INSTRUMEN HUKUM LANJUTAN DAN ISU-ISU KONTEMPORER

Hukum kepailitan modern tidak hanya berhenti pada likuidasi aset. UU Kepailitan & PKPU menyediakan instrumen-instrumen canggih dan menghadapi tantangan-tantangan baru yang relevan dengan dunia bisnis saat ini.

Actio Pauliana (Pasal 41-49 UU Kepailitan & PKPU)

Actio Pauliana adalah instrumen hukum yang memberikan kewenangan kepada Kurator untuk mengajukan pembatalan atas perbuatan hukum debitor yang merugikan kepentingan kreditor, yang dilakukan sebelum pernyataan pailit diucapkan. Instrumen ini mengubah peran Kurator dari sekadar administrator aset menjadi seorang investigator forensik yang harus menelaah transaksi-transaksi masa lalu debitor.

Syarat untuk mengajukan actio pauliana cukup ketat:

Untuk mempermudah pembuktian, Pasal 42 memberlakukan mekanisme pembalikan beban pembuktian. Jika perbuatan hukum yang merugikan itu dilakukan dalam jangka waktu satu tahun sebelum putusan pailit, maka debitor dan pihak ketiga dianggap mengetahui akibat merugikan tersebut, kecuali mereka dapat membuktikan sebaliknya.31 Yurisprudensi, seperti dalam Putusan MA No. 436 K/Pdt.Sus-Pailit/2021, menunjukkan bagaimana pengadilan menerapkan actio pauliana untuk membatalkan pengalihan utang yang terbukti merugikan massa kreditor. Meskipun merupakan senjata yang ampuh, actio pauliana seringkali sulit diterapkan karena beban pembuktian yang berat, terutama untuk membuktikan unsur "mengetahui" dari pihak ketiga.

Prinsip Kelangsungan Usaha (Going Concern) dalam Kepailitan

Terdapat sebuah dikotomi inheren dalam tujuan kepailitan: antara likuidasi cepat untuk membayar kreditor dan upaya penyelamatan usaha (rescue culture) yang mungkin memberikan hasil lebih optimal dalam jangka panjang. Pasal 104 UU Kepailitan & PKPU mengakomodasi tujuan kedua dengan memberikan kewenangan kepada Kurator untuk melanjutkan usaha debitor pailit.

Namun, penerapan prinsip ini menghadapi tantangan signifikan. Studi kasus Putusan No. 10/Pdt.Sus-Pailit/2024/PN.Niaga.Smg (kasus PT Panamtex) menjadi contoh nyata. Dalam kasus tersebut, pengadilan memailitkan sebuah perusahaan yang diduga masih solven, hanya berdasarkan pemenuhan syarat formal "pembuktian sederhana" tanpa melakukan insolvency test yang mendalam.25 Hal ini menunjukkan bagaimana prinsip kelangsungan usaha dapat terabaikan pada tahap awal permohonan pailit. Dalam praktiknya, banyak Kurator juga lebih memilih jalur likuidasi yang lebih cepat dan memberikan kepastian honorarium, dibandingkan mengambil risiko melanjutkan usaha yang hasilnya tidak pasti.

Kepailitan Lintas Batas (Cross-Border Insolvency)

Di era globalisasi, di mana aset dan kreditor seringkali tersebar di berbagai yurisdiksi, hukum kepailitan Indonesia menghadapi tantangan besar.48 Indonesia masih menganut prinsip teritorialitas yang kaku, yang berakar pada Pasal 436 Reglement op de Rechtsvordering (Rv). Prinsip ini menyatakan bahwa putusan pengadilan asing tidak memiliki kekuatan eksekutorial di Indonesia, dan sebaliknya, putusan pengadilan Indonesia tidak diakui di luar negeri.

Implikasinya sangat serius. Seorang Kurator yang ditunjuk oleh Pengadilan Niaga di Indonesia secara hukum tidak memiliki kewenangan untuk mengambil alih dan menjual aset debitor pailit yang berada di Singapura atau Malaysia. Demikian pula, kurator asing tidak dapat menjangkau aset debitor yang ada di Indonesia. Hal ini menciptakan celah hukum yang signifikan, mengurangi efektivitas proses kepailitan, dan dapat dimanfaatkan oleh debitor yang tidak beriktikad baik untuk menyembunyikan asetnya di luar negeri. Banyak kalangan akademisi dan praktisi hukum mendorong agar Indonesia segera mereformasi hukumnya dengan mengadopsi kerangka kerja internasional seperti UNCITRAL Model Law on Cross-Border Insolvency, yang memfasilitasi kerja sama yudisial, pengakuan timbal balik atas proses kepailitan, dan koordinasi antar kurator dari yurisdiksi yang berbeda.

Hubungan antara Negative Covenant dan Permohonan Pailit Sukarela

Dalam praktik perjanjian kredit komersial, sering kali ditemukan klausul negative covenant (janji negatif). Klausul ini berisi larangan bagi debitor untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu tanpa persetujuan kreditor, seperti menjual aset material, mengambil utang baru, atau bahkan mengajukan permohonan pailit secara sukarela (voluntary bankruptcy).

Timbul pertanyaan yuridis mengenai kekuatan mengikat klausul larangan pailit sukarela ini. Di satu sisi, asas kebebasan berkontrak (Pasal 1338 KUH Perdata) menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pembuatnya. Di sisi lain, Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan & PKPU secara eksplisit memberikan hak kepada debitor untuk mengajukan permohonan pailit atas dirinya sendiri.

Dalam perspektif hukum Indonesia, hak untuk mengajukan permohonan pailit adalah hak yang diberikan oleh undang-undang (bersifat publik) dan tidak dapat dikesampingkan oleh perjanjian privat.49 Oleh karena itu, klausul negative covenant yang melarang debitor mengajukan pailit sukarela tidak dapat membatalkan atau menghalangi keabsahan permohonan pailit yang diajukan oleh debitor ke Pengadilan Niaga. Pengadilan akan tetap memeriksa pemenuhan syarat materiel kepailitan sesuai UU Kepailitan & PKPU.

Namun, pelanggaran terhadap klausul negative covenant tersebut tetap memiliki akibat hukum dalam ranah hukum perjanjian. Tindakan debitor mengajukan pailit sukarela akan dianggap sebagai suatu bentuk wanprestasi (pelanggaran perjanjian) terhadap perjanjian kredit. Akibatnya, kreditor (bank) berhak untuk menuntut ganti rugi atas kerugian yang timbul akibat wanprestasi tersebut, meskipun tuntutan ganti rugi ini akan menjadi tagihan konkuren dalam proses kepailitan yang diajukan oleh debitor itu sendiri.50

VIII. ANALISIS YURISPRUDENSI SIGNIFIKAN

Yurisprudensi Mahkamah Agung memegang peranan krusial dalam membentuk, memperjelas, dan bahkan mengoreksi norma-norma dalam UU Kepailitan & PKPU. Beberapa putusan telah menjadi preseden penting yang memandu praktik hukum kepailitan di Indonesia.

Analisis Kasus 1: Putusan MA No. 605 K/Pdt.Sus-Pailit/2024 (PT. Sinar Galaxy) Putusan ini menjadi tonggak penting dalam menegaskan supremasi kewenangan Kurator pasca-putusan pailit. Kasus ini bermula ketika debitor pailit (PT. Alam Galaxy) menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) tanpa persetujuan Kurator. Mahkamah Agung, dalam putusannya, menyatakan bahwa RUPSLB tersebut batal demi hukum. Putusan ini secara tegas menginterpretasikan bahwa sejak pailit, seluruh tindakan hukum korporasi yang menyangkut harta pailit harus berada di bawah kendali dan persetujuan Kurator. Implikasinya adalah perlindungan yang lebih kuat bagi kreditor dari tindakan-tindakan debitor yang berpotensi mengurangi atau mengalihkan harta pailit secara terselubung.52

Analisis Kasus 2: Putusan MA No. 1262 K/Pdt.Sus-Pailit/2022 (Yayasan Rumah Sakit Sandi Karsa) Kasus ini menyoroti kompleksitas penerapan hukum kepailitan terhadap entitas non-korporasi seperti yayasan. Pengadilan Niaga menyatakan yayasan tersebut pailit, namun Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membatalkan putusan tersebut. Putusan ini menunjukkan adanya disparitas pandangan antara pengadilan tingkat pertama dan Mahkamah Agung dalam menafsirkan status badan hukum yayasan dan hartanya dalam konteks kepailitan. Hal ini membuka diskursus mengenai apakah kerangka UU Kepailitan & PKPU, yang sebagian besar dirancang untuk entitas komersial, sudah cukup memadai untuk menangani kepailitan badan hukum nirlaba yang memiliki karakteristik dan tujuan yang berbeda.

Tabel berikut merangkum beberapa kaidah hukum penting yang lahir dari yurisprudensi:

Nomor Putusan Para Pihak Isu Hukum Utama Kaidah Hukum (Prinsip yang Ditegakkan)
No. 605 K/Pdt.Sus-Pailit/2024 PT. Alam Galaxy (Dalam Pailit) Keabsahan RUPSLB tanpa persetujuan Kurator Setiap tindakan hukum korporasi oleh debitor pailit yang dilakukan tanpa persetujuan Kurator adalah batal demi hukum. Menegaskan supremasi kewenangan Kurator atas boedel pailit.
No. 555K/Pdt.Sus-Pailit/2021 Terkait pengalihan piutang (cessie) "Batasan ""pembuktian sederhana""" "Jika pembuktian adanya utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih bersifat kompleks dan memerlukan pemeriksaan mendalam yang melampaui pembuktian sederhana, maka permohonan pailit harus ditolak dan sengketa diselesaikan di pengadilan perdata."
Putusan MK No. 67/PUU-XI/2013 Uji Materiil UU Ketenagakerjaan Kedudukan upah pekerja dalam hierarki pembayaran "Hak atas upah pekerja/buruh yang terutang harus didahulukan pembayarannya di atas semua jenis kreditor, termasuk kreditor separatis dan tagihan negara (pajak)."

IX. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Sintesis Temuan

Hukum kepailitan Indonesia merupakan sebuah bidang hukum yang dinamis dan terus berevolusi. Beranjak dari kerangka hukum kolonial yang kaku, UU Kepailitan & PKPU telah menyediakan mekanisme yang lebih modern dan responsif. Namun, penerapannya tidak lepas dari tantangan dan kompleksitas. Analisis dalam memorandum ini menunjukkan beberapa temuan kunci:

Tantangan dan Prospek

Ke depan, hukum kepailitan Indonesia masih dihadapkan pada beberapa tantangan utama:

Rekomendasi

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, beberapa rekomendasi akademis dan kebijakan dapat diajukan:

X. DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-undangan

Yurisprudensi

Artikel, Jurnal, dan Sumber Lainnya