MEMORANDUM HUKUM
PERIHAL: Analisis Yuridis Komprehensif dan Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-XXIII/2025 tentang Larangan Anggota Polri Aktif Menduduki Jabatan Sipil
Memorandum ini menyajikan analisis yuridis yang diperluas dan komprehensif atas Putusan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut "MK") Nomor 114/PUU-XXIII/2025 (selanjutnya disebut "Putusan").1 Putusan ini, yang dibacakan pada 13 November 2025 2, secara fundamental mengubah lanskap hukum tata kelola aparatur negara dan mempertegas struktur pemisahan antara fungsi keamanan dan fungsi sipil di Indonesia.
Putusan ini dipandang sebagai sebuah landmark decision karena mengakhiri anomali hukum yang telah berlangsung selama lebih dari dua dekade. Praktik ini melegitimasi penempatan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (selanjutnya disebut "Polri") aktif dalam jabatan-jabatan strategis di birokrasi sipil tanpa kewajiban mengundurkan diri atau pensiun.2
Objek pengujian dalam perkara a quo adalah konstitusionalitas frasa "atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri" yang termuat dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (selanjutnya disebut "UU Polri").1 Para Pemohon, Syamsul Jahidin (Advokat) dan Christian Adrianus Sihite (lulusan Sarjana Hukum), secara eksplisit mendalilkan bahwa praktik yang dimungkinkan oleh norma penjelasan tersebut telah secara substantif menciptakan "Dwifungsi POLRI" baru.1 Dalil ini merujuk pada kekhawatiran atas terulangnya Dwi Fungsi ABRI di masa Orde Baru, yang mengaburkan batas antara fungsi keamanan dan fungsi pemerintahan sipil, sebuah praktik yang secara tegas ditolak oleh semangat Reformasi 1998.1
Signifikansi Putusan ini terletak pada intervensi yudisial MK untuk menegaskan kembali prinsip negara hukum (rechtsstaat), yang dijamin oleh Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, dan prinsip kepastian hukum yang adil (lex certa), yang dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.2 Lebih jauh, Putusan ini melakukan harmonisasi yudisial secara paksa (forced judicial harmonization) antara UU Polri dengan undang-undang sektoral lainnya, khususnya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (selanjutnya disebut "UU TNI") dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (selanjutnya disebut "UU ASN").
Analisis dalam memorandum ini berfokus pada permasalahan hukum utama yang dijawab oleh Putusan:
Apakah frasa "atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri" dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri 1 secara yuridis menciptakan kontradiksi norma (conflict of norms) dengan norma imperatif dalam batang tubuh Pasal 28 ayat (3) UU Polri?
Apakah kontradiksi norma tersebut mengakibatkan norma kabur (vague norm) yang melanggar prinsip kepastian hukum yang adil (Pasal 28D ayat (1) UUD 1945) dan prinsip kesempatan yang sama dalam pemerintahan (Pasal 28D ayat (3) UUD 1945)? 1
Bagaimana Putusan ini menyelesaikan benturan hukum (legal conflict) antara UU Polri, UU TNI, dan "asas resiprokal" yang diperkenalkan dalam UU ASN?8
Apa implikasi hukum langsung dan konsekuensi status bagi para perwira Polri aktif yang saat ini sedang menduduki jabatan di struktur sipil pasca-putusan ini?
Analisis ini disusun menggunakan pendekatan yuridis-normatif dan doktrinal. Fokus utama adalah membedah ratio decidendi (pertimbangan hukum) Putusan MK 2 dengan menelaah secara kritis argumen para Pemohon 1, keterangan Pemerintah (Presiden) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) 1, serta keterangan para ahli yang terlibat dalam proses persidangan, termasuk Ahli Pemohon Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto dan Ahli Presiden Dr. Oce Madril.1 Analisis ini menerapkan asas-asas hukum (seperti lex superior derogat legi inferiori, lex specialis derogat legi generali) dan prinsip-prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 (selanjutnya disebut "UU P3").9
Konflik hukum dalam perkara ini bersumber dari kontradiksi internal yang fundamental antara batang tubuh dan penjelasan dalam Pasal 28 UU Polri 1:
Batang Tubuh (Pasal 28 ayat (3) UU Polri): "Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian." 1
Penjelasan (Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri): "Yang dimaksud dengan "jabatan di luar kepolisian" adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri." 1
Para Pemohon (Syamsul Jahidin dan Christian Adrianus Sihite) membangun argumentasi mereka di atas beberapa pilar utama, yang didukung oleh bukti-bukti faktual 1:
Kontradiksi Norma Internal dan A Contrario yang Menyesatkan: Dalil sentral adalah bahwa Penjelasan secara fatal bertentangan dengan Batang Tubuh. Batang Tubuh bersifat imperatif dan limitatif (mensyaratkan mutlak "mengundurkan diri atau pensiun"). Sebaliknya, Penjelasan—melalui penggunaan frasa "atau"—menciptakan norma baru. Frasa "atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri" selama ini ditafsirkan secara a contrario (penafsiran terbalik) oleh Pemerintah untuk melegitimasi praktik bahwa seorang anggota Polri aktif dapat menduduki jabatan sipil selama jabatan itu "berdasarkan penugasan dari Kapolri".1
Pelanggaran Asas Pembentukan Peraturan (UU P3): Penjelasan tersebut melanggar doktrin dan asas-asas dalam UU P3 9, yang secara doktrinal menegaskan bahwa Penjelasan tidak boleh menambah, mengurangi, mengubah, atau memuat norma baru yang berbeda dari norma dalam batang tubuhnya. Dalam kasus ini, Penjelasan secara jelas telah "mengurangi kekuatan larangan yang ada di Batang tubuh".1
Pelanggaran Kepastian Hukum (Pasal 28D ayat (1) UUD 1945): Kontradiksi ini menciptakan norma kabur (vague norm) dan multitafsir, yang berakibat pada ketidakpastian hukum yang adil, yang merupakan elemen fundamental negara hukum (Pasal 1 ayat (3) UUD 1945).1
Kerugian Konstitusional Aktual (Diskriminasi dan "Dwifungsi Polri"): Para Pemohon mengklaim kerugian konstitusional yang aktual dan potensial 1:
Pemohon I (Advokat): Dirugikan karena menghadapi inequality of arms (ketidakseimbangan) ketika berhadapan dengan pejabat sipil yang juga merupakan perwira polisi aktif, yang memiliki kekuatan ganda sebagai aparat penegak hukum sekaligus pejabat sipil.1
Pemohon II (Sarjana Hukum): Dirugikan karena kesempatannya untuk berkompetisi secara adil dalam seleksi jabatan publik (ASN) tertutup oleh anggota Polri aktif yang ditempatkan melalui "penugasan" tanpa seleksi yang setara.1 Hal ini melanggar hak atas kesempatan yang sama dalam pemerintahan (Pasal 28D ayat (3) UUD 1945).
Bukti Faktual "Dwifungsi Polri": Untuk membuktikan kerugian aktual dan masifnya praktik ini, Pemohon melampirkan daftar panjang perwira tinggi Polri aktif yang menduduki jabatan sipil strategis, seperti Komjen Pol. Rudy Heriyanto (Sekjen KKP), Komjen Pol. Nico Afinta (Sekjen Kemenkumham), Komjen Pol. Marthinus Hukom (Kepala BNN), Komjen Pol. Albertus Rachmad Wibowo (Wakil Kepala BSSN), Komjen Pol. Eddy Hartono (Kepala BNPT), hingga Komjen Pol. Muhammad Iqbal (Sekjen DPD RI).1
Keterangan Ahli Pemohon, Soleman B. Ponto, mempertajam analisis dengan menyoroti dua poin krusial 1:
Analisis Gramatikal dan "Penugasan Liar": Ahli berpendapat frasa "atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri" sangat berbahaya karena secara gramatikal membuka tafsir adanya "penugasan liar" (wild assignment), yaitu penugasan anggota Polri aktif oleh pihak luar tanpa sepengetahuan Kapolri. Hal ini mengancam sistem komando tunggal (single command system) di tubuh Polri.1
Diskriminasi Normatif vs. TNI: Ahli menyoroti perbedaan perlakuan yang mencolok antara Polri dan TNI. Pasal 47 UU No. 34 Tahun 2004 (UU TNI) secara tegas, limitatif, dan eksplisit mengatur bahwa prajurit TNI aktif hanya dapat menduduki jabatan sipil pada 10 kementerian/lembaga yang berkaitan langsung dengan fungsi pertahanan (Kemenko Polhukam, Kemenhan, BIN, Lemhannas, BSSN, dll.).1 Sebaliknya, Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri, dengan frasa yang kabur, memberikan diskresi tanpa batas (unlimited) kepada Kapolri untuk menempatkan anggotanya di kementerian atau lembaga apa pun, yang jelas-jelas menciptakan diskriminasi normatif dan melanggar prinsip kesetaraan di hadapan hukum (Pasal 28D ayat (3) UUD 1945).1
Pemerintah dan DPR, dalam keterangannya, secara esensial menyajikan argumen yang seragam untuk mempertahankan konstitusionalitas Penjelasan tersebut 1:
Penafsiran A Contrario (Keterbalikan Makna): Argumen utama Pemerintah adalah bahwa Batang Tubuh dan Penjelasan harus dibaca secara utuh. Menurut Pemerintah, tafsirnya adalah: anggota Polri harus pensiun/mundur kecuali jabatan tersebut "mempunyai sangkut paut dengan kepolisian atau... berdasarkan penugasan dari Kapolri".1
Justifikasi "Asas Resiprokal" UU ASN (Argumen Utama): Pertahanan utama Pemerintah dan DPR adalah harmonisasi dengan UU No. 20 Tahun 2023 (UU ASN).8 Mereka merujuk pada:
Pasal 19 UU ASN: Yang menyatakan bahwa "Jabatan ASN tertentu dapat diisi dari... anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia".8
Pasal 20 UU ASN: Yang menyatakan bahwa "Pegawai ASN dapat menduduki jabatan di lingkungan... Kepolisian Negara Republik Indonesia".8
Kombinasi kedua pasal ini, menurut DPR dan Ahli Presiden, menciptakan "asas resiprokal" (prinsip timbal balik) yang sah secara hukum, yang menjadi dasar bagi anggota Polri aktif untuk mengisi jabatan ASN dan sebaliknya.1
Pembedaan Fungsi Polri vs. TNI (Ahli Presiden Dr. Oce Madril): Ahli Presiden berargumen bahwa Polri tidak dapat disamakan dengan TNI. Merujuk pada Pasal 2 UU Polri ("Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara..."), Ahli berpendapat bahwa Polri secara inheren memiliki fungsi pemerintahan, sehingga wajar jika anggotanya mengisi jabatan pemerintahan sipil. Ini berbeda dengan TNI yang murni alat pertahanan negara.1
Pada 13 November 2025, Mahkamah Konstitusi membacakan amar putusannya:
"Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya."
Menyatakan frasa "atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri" dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia... bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Ratio decidendi (pertimbangan hukum utama) MK, sebagaimana dikutip dari Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur, berfokus pada pemurnian norma untuk mencapai kepastian hukum.2 Pertimbangan utama Mahkamah adalah:
Norma Batang Tubuh Sudah Tegas: MK berpendapat bahwa norma batang tubuh Pasal 28 ayat (3) UU Polri, yang menyatakan "...dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun...", adalah rumusan yang "bersifat tegas dan tidak memerlukan tafsir lain".2 Ini adalah norma larangan yang imperatif, jelas, dan merupakan syarat mutlak.
Penjelasan Mengaburkan Norma: Sebaliknya, frasa "atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri" dalam Penjelasan justru "mengaburkan substansi norma dan menyebabkan ketidakpastian hukum".2
Penjelasan Menciptakan Norma Baru: Frasa tersebut, menurut MK, "membuka peluang bagi anggota Polri aktif untuk menduduki jabatan sipil tanpa mengundurkan diri atau pensiun".2 Dengan demikian, Penjelasan tersebut tidak lagi berfungsi "memperjelas", melainkan "memperluas" dan "menciptakan norma baru" yang bertentangan dengan norma pokoknya.2
Pelanggaran Konstitusional: Dengan menciptakan ambiguitas dan kontradiksi fundamental terhadap norma pokoknya, Penjelasan tersebut secara langsung telah melanggar jaminan konstitusional atas "pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil" sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.2
Putusan ini secara inheren menegakkan doktrin fundamental dalam pembentukan peraturan perundang-undangan (UU P3).9 Secara doktrinal, fungsi Penjelasan adalah untuk "memperjelas" norma dalam batang tubuh, bukan untuk "menambah", "mengurangi", atau "mengubah" norma tersebut.
MK mengidentifikasi bahwa frasa "atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri" jelas bukan sekadar penjelasan; ia adalah norma baru yang bersifat ekspansif (memperluas) dan derogatif (mengesampingkan) norma imperatif dalam batang tubuhnya. MK, dengan membatalkan frasa dalam Penjelasan tersebut, telah menegaskan kembali supremasi batang tubuh (supremacy of the article's body) atas penjelasannya (elucidation). Putusan ini adalah koreksi yudisial (judicial correction) terhadap cacat dalam teknik legislasi (defective legislative drafting) yang telah menimbulkan ketidakpastian hukum selama lebih dari dua dekade.2
Sangat penting untuk dicatat bahwa MK, dalam ratio decidendi-nya, memfokuskan analisis pada konflik norma internal dalam UU Polri (Batang Tubuh vs. Penjelasan) dan pelanggaran langsung terhadap Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.2
Langkah ini merupakan penolakan implisit namun tegas terhadap argumen utama Pemerintah dan DPR mengenai "asas resiprokal" dalam UU ASN (UU No. 20 Tahun 2023).8 Logika hukumnya adalah sebagai berikut: UU ASN (UU No. 20/2023) adalah lex generalis yang mengatur manajemen aparatur sipil. UU Polri (UU No. 2/2002) adalah lex specialis yang mengatur status keanggotaan Polri.
Seseorang tidak dapat menggunakan lex generalis (Pasal 19 UU ASN) untuk membenarkan pengabaian terhadap lex specialis (Pasal 28 ayat (3) UU Polri). Untuk dapat menjadi subjek hukum dari Pasal 19 UU ASN (diisi oleh anggota Polri), seorang anggota Polri harus terlebih dahulu memenuhi ketentuan dalam lex specialis-nya, yaitu Pasal 28 ayat (3) UU Polri (mengundurkan diri atau pensiun). Dengan dibatalkannya Penjelasan yang bermasalah, maka tidak ada lagi celah hukum bagi anggota aktif untuk mengisi jabatan ASN.
Untuk analisis yang komprehensif, perlu dicatat bahwa Putusan ini tidak diambil secara bulat. Terdapat dissenting opinion (pendapat berbeda) dari dua Hakim Konstitusi, yaitu M. Guntur Hamzah dan Daniel Yusmic P. Foekh.
Meskipun pertimbangan lengkap mereka tidak tersedia dalam materi yang dianalisis, pokok perbedaan pendapat mereka berpusat pada interpretasi hubungan antara batang tubuh dan penjelasan.7 Mereka berpandangan bahwa norma dalam batang tubuh (Pasal 28 ayat (3)) adalah aturan utama yang mensyaratkan pensiun/mundur, dan frasa dalam penjelasan (yang kini dibatalkan) hanyalah mendefinisikan apa yang dimaksud dengan "jabatan di luar kepolisian".7 Mereka tampaknya tidak setuju dengan kesimpulan mayoritas bahwa frasa tersebut harus dibatalkan seluruhnya, kemungkinan berargumen bahwa penafsiran yang berbeda seharusnya lebih diutamakan daripada pembatalan norma.7
Bagian ini secara khusus menjawab pertanyaan mengenai nasib perwira Polri aktif yang saat ini menduduki jabatan sipil pasca-Putusan MK.
Putusan ini memiliki implikasi hukum yang segera, langsung, dan bersifat mandat.
Kehilangan Dasar Hukum Penugasan: Dengan dibatalkannya frasa "atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri" oleh MK, maka "seluruh penugasan anggota Polri aktif untuk menduduki jabatan di luar struktur kepolisian" kini menjadi tanpa dasar hukum (without legal basis).2 Landasan hukum yang selama ini digunakan untuk justifikasi penugasan tersebut telah dinyatakan inkonstitusional dan tidak berlaku lagi.
Konsekuensi Status: Dua Pilihan Mandatori: Status kepegawaian dari puluhan perwira Polri aktif yang saat ini menduduki jabatan sipil (seperti di KPK, BNN, BSSN, BNPT, Sekjen Kementerian, dll. 2) kini menjadi ilegal secara hukum. Sesuai dengan Putusan, mereka tidak diberhentikan secara otomatis dari jabatan sipilnya, tetapi dipaksa untuk memilih satu di antara dua konsekuensi status:
Opsi 1: Mengundurkan Diri atau Pensiun dari Polri. Perwira tersebut harus segera mengajukan pengunduran diri atau pensiun dini dari dinas kepolisian. Setelah statusnya beralih penuh menjadi sipil, ia dapat melanjutkan jabatannya di lembaga sipil tersebut sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) murni.
Opsi 2: Melepaskan Jabatan Sipil dan Kembali ke Polri. Perwira tersebut harus segera melepaskan jabatan sipilnya dan ditarik kembali (recall) ke struktur internal Mabes Polri untuk pembinaan karier lebih lanjut di dalam institusi kepolisian.
Kewajiban Tindak Lanjut Eksekutif: Pemerintah (Istana) dan Pimpinan Polri secara eksplisit menyatakan akan mematuhi Putusan MK yang bersifat final and binding ini. Presiden diharapkan segera menginstruksikan Kapolri untuk:
Melakukan inventarisasi dan audit kepegawaian menyeluruh terhadap semua anggota Polri aktif yang ditempatkan di luar struktur.
Menerbitkan surat keputusan (SKEP) untuk menarik kembali para anggota tersebut atau memproses administrasi pengunduran diri/pensiun mereka sesuai dengan pilihan yang diambil oleh perwira yang bersangkutan.
Potensi Cacat Hukum atas Tindakan Pejabat: Setiap keputusan administrasi (Beschikking) atau kebijakan yang diambil oleh para pejabat Polri aktif tersebut dalam kapasitas mereka sebagai pejabat sipil, setelah tanggal Putusan MK (13 November 2025), berpotensi cacat hukum. Tindakan tersebut dapat menjadi objek gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) dengan dalil bahwa pejabat yang bersangkutan tidak lagi memiliki kewenangan yang sah (onbevoegd) untuk menduduki jabatannya.
Putusan ini secara efektif mengakhiri praktik yang oleh publik dan para Pemohon disebut sebagai "Dwifungsi Polri".12 Ia mengembalikan Polri pada fungsi intinya sebagaimana diamanatkan Pasal 30 ayat (4) UUD 1945: menjaga kamtibmas dan menegakkan hukum.2 Lembaga-lembaga sipil kini dipaksa untuk mengembangkan kaderisasi pimpinan sipil internal yang murni, sejalan dengan prinsip Sistem Merit UU ASN.
Lebih jauh lagi, Putusan ini adalah sebuah langkah "harmonisasi yudisial". MK telah melakukan apa yang gagal dilakukan oleh legislatif. Dengan membatalkan Penjelasan yang kabur tersebut, MK secara efektif telah menyejajarkan norma UU Polri dengan norma dalam Pasal 47 UU TNI.1 Kini, baik TNI maupun Polri, sama-sama dilarang keras menduduki jabatan sipil di luar fungsi inti mereka, kecuali diatur secara sangat ketat dan limitatif oleh undang-undang.
Rekomendasi Jangka Pendek (Eksekutif): Presiden, melalui Menko Polhukam, Menteri PANRB, dan Kapolri, harus segera membentuk satuan tugas transisi untuk mengelola dampak Putusan ini. Batas waktu yang tegas (misalnya, 3-6 bulan) harus ditetapkan bagi para anggota tersebut untuk memilih status (pensiun/mundur atau kembali ke Polri) guna mencegah kekosongan jabatan dan ketidakpastian hukum yang berkepanjangan.
Rekomendasi Jangka Menengah (Legislatif): Pemerintah dan DPR harus segera merespons Putusan ini. "Asas resiprokal" dalam Pasal 19 dan 20 UU ASN 8 kini membutuhkan peraturan pelaksanaan yang konstitusional. Rekomendasinya adalah:
Segera menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) pelaksana UU ASN yang secara eksplisit mengatur mekanisme "alih status" (bukan "penugasan") dari Polri/TNI ke ASN, yang mensyaratkan pengunduran diri/pensiun dari dinas aktif sebagai prasyarat mutlak, sejalan dengan Putusan MK ini.
Melakukan revisi terbatas terhadap UU Polri (UU No. 2/2002) untuk mengatur secara jelas, limitatif, dan eksplisit (serupa dengan Pasal 47 UU TNI 1) mengenai jabatan-jabatan fungsional spesifik di luar Polri (jika ada) yang dapat diisi anggota aktif, yang benar-benar memiliki sangkut paut langsung dengan tugas kepolisian (misalnya, Atase Polisi di kedutaan, atau unit spesifik di BNN/BNPT yang mungkin memerlukan revisi UU khusus).
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168).4
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4439).14
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022.9
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 141, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6890).8
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 114/PUU-XXIII/2025.2
"MK Putuskan Polisi Aktif Tidak Boleh Menduduki Jabatan Sipil". Tempo.co. 13 November 2025.2
"Polri Belum Terima Putusan MK soal Larangan Polisi Duduki Jabatan Sipil". Tempo.co. 13 November 2025.12
"Kerugian Konstitusional Akibat Anggota Polri Duduki Jabatan Sipil". Mahkamah Konstitusi RI. 11 Agustus 2025.6
"Anggota Polri Dilarang Duduki Jabatan Sipil". Mahkamah Konstitusi RI. 13 November 2025.3
"MK Tegaskan Anggota Polri Duduki Jabatan Sipil Harus Pensiun". AntaraNews.com. 13 November 2025.
"MK Larang Polisi Aktif Jabat Posisi Sipil, Istana dan Polri Siap Patuh". Hulondalo.id. 13 November 2025.
"Presiden Harus Instruksikan Kapolri Tarik Seluruh Polisi Aktif di Jabatan Sipil". RMOL.id. 14 November 2025.
Publikasi dan artikel relevan dari Hukumonline dan jurnal hukum terkait.