[et_pb_section fb_built=”1″ disabled_on=”off|off|off” admin_label=”Body” _builder_version=”4.0.7″ custom_padding=”0|0px|42px|0px|false|false” collapsed=”off”][et_pb_row _builder_version=”4.0.7″ custom_margin=”2px|auto|24px|auto||” custom_padding=”0px|0px|0px|0px|false|false”][et_pb_column type=”4_4″ _builder_version=”3.25″ custom_padding=”0px||0px|” custom_padding__hover=”|||”][et_pb_button button_text=”LEGAL ALERT” _builder_version=”3.25.3″ custom_button=”on” button_text_size=”30px” button_text_color=”#e02b20″ button_font=”||||||||”][/et_pb_button][/et_pb_column][/et_pb_row][et_pb_row _builder_version=”4.0.7″ custom_margin=”2px|auto|24px|auto||” custom_padding=”0px|0px|0px|0px|false|false”][et_pb_column type=”4_4″ _builder_version=”3.25″ custom_padding=”0px||0px|” custom_padding__hover=”|||”][et_pb_text content_last_edited=”off|desktop” _builder_version=”4.0.11″ width=”100%” custom_margin=”||-24px|||” custom_padding=”|0px||||”]
Constitutional Court Decision on Fiducia Interest Security / Keputusan Mahkamah Konstitusi atas Jaminan Fidusia |
Keputusan Mahkamah Konstitusi atas Jaminan Fidusia |
[/et_pb_text][et_pb_divider color=”#ffffff” divider_style=”dotted” divider_weight=”3px” _builder_version=”4.0.7″ min_height=”1px”][/et_pb_divider][/et_pb_column][/et_pb_row][et_pb_row column_structure=”1_2,1_2″ _builder_version=”4.0.7″ custom_margin=”2px|auto|-12px|auto||” custom_padding=”0px|0px|0px|0px|false|false”][et_pb_column type=”1_2″ _builder_version=”3.25″ custom_padding=”0px||0px|” custom_padding__hover=”|||”][et_pb_divider color=”#0c71c3″ _builder_version=”4.0.7″ custom_margin=”-42px|||||”][/et_pb_divider][/et_pb_column][et_pb_column type=”1_2″ _builder_version=”3.25″ custom_padding=”0px||0px|” custom_padding__hover=”|||”][et_pb_divider color=”#0c71c3″ _builder_version=”4.0.11″ custom_margin=”-41px|||||”][/et_pb_divider][/et_pb_column][/et_pb_row][et_pb_row _builder_version=”4.0.4″ custom_margin=”2px|auto|24px|auto||” custom_padding=”0px|0px|0px|0px|false|false”][et_pb_column type=”4_4″ _builder_version=”3.25″ custom_padding=”0px||0px|” custom_padding__hover=”|||”][et_pb_text _builder_version=”4.0.11″ hover_enabled=”0″]
Pada 6 Januari 2020, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 diterbitkan terkait dengan perkara Pengujian undang-undang nomor 42 tahun 1999 tentang jaminan Fidusia terhadap undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang mana secara intinya berisi sebagaimana dibawah ini: | On January 6, 2020, Decision of the Constitutional Court Number 18 / PUU-XVII / 2019 was published in connection with the Judicial Review of Law number 42 of 1999 concerning Fiduciary Security of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, which basically contained as below: | |
Kewenangan Mahkamah Konstitusi (“MK”) yaitu : – Pasal 24 ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945 menyatakan “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang dibawahnya dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Selanjutnya Pasal 24C ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945 menyatakan “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD”; – Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 (“UU MK”), kembali menegaskan hal yang sama yaitu Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final, antara lain “…menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945”; |
The authority of the Constitutional Court (“MK”), namely: – Article 24 paragraph (2) of the Third Amendment to the 1945 Constitution states “Judicial power is exercised by a Supreme Court and the judicial body under it and by a Constitutional Court”. Furthermore Article 24C paragraph (1) of the Third Amendment to the 1945 Constitution states “The Constitutional Court has the authority to adjudicate at the first and last level whose decisions are final to review the law against the Constitution”; – Article 10 paragraph (1) of Law Number 24 of 2003 concerning the Constitutional Court as amended by Law Number 8 of 2011 (“MK Law”), reiterates the same thing, namely that the Constitutional Court has the authority to adjudicate at the first and last level the decision is final, including “… testing the Law on the 1945 Constitution”; |
|
Objek Uji Materiil – Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3), Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Pasal 15 ayat (2) “Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;” Pasal 15 ayat (3) “Apabila debitur cidera janji Penerima Fidusia mempunyai hak untuk menjual Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri.” |
Material Test Objects Article 15 paragraph (3) |
|
Kedudukan Hukum Pemohon – Pemohon I dan Pemohon II (“Para Pemohon) merupakan perorangan warga negara Indonesia; |
Legal status of the applicant – Petitioner I is a Fiduciary Giver of Fiduciary Security Certificate (Giver of Fiduciary) who suffered a direct loss due to withdrawal of fiduciary collateral objects carried out by the Fiduciary Recipient; – Petitioner II is the husband of Petitioner I who is factually involved actively in the payment of instalments or car loans which are the object of fiduciary collateral, so that when Fiduciary Recipients take the fiduciary collateral object, Petitioner II, both directly and indirectly experiences the same loss as experienced by Petitioner I; |
|
Permasalahan Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3), Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menurut Pemohon: – Bahwa dengan berlakunya pasal a quo yang dimohonkan para Pemohon, senyatanya telah merugikan hak konstitusional para Pemohon. Kekuasaan yang berlebihan dan tanpa kontrol mekanisme hukum yang sewajarnya, dengan menyetarakan kedudukan ertifikat Jaminan Fidusia dengan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, telah mengakibatkan tindakan sewenang-wenang Penerima Fidusia untuk melakukan eksekusi terhadap objek jaminan fidusia, bahkan dengan menghalalkan segala macam cara serta tanpa melalui prosedur hukum yang benar; |
Problems with Article 15 paragraph (2) and paragraph (3), Law Number 42 of 1999 concerning Fiduciary Security according to the Petitioner: – That the arbitrary actions taken by the Fiduciary Recipient are carried out by hiring the services of a debt collector, to take over the goods controlled by the Petitioner without going through proper legal procedures. There is some momentum of forced action, without showing evidence and official documents, without authority, by attacking personal, honor, dignity, and threatening to kill the Petitioners. – Whereas for his actions, there is a South Jakarta District Court Decision Number 345 / PDT.G / 2018 / PN.Jkt.Sel which states that the Fiduciary Recipient’s actions as described above, constitute acts against the law. Therefore, Fiduciary Recipients have even been given sanctions to pay fines for both Material and Immaterial. – Whereas although there has been a Court Decision related to a dispute between the Fiduciary Giver and the aforementioned Fiduciary Recipient, the Fiduciary Recipient continues to ignore it by continuing to withdraw the object of the Fiduciary Security on the basis that the Fiduciary Agreement is deemed to have permanent legal force based on the provisions of the Article being applied for a quo |
|
Pokok Permohonan
|
Principal Request – The phrase “Executorial Power”, the phrase “Same as the Court’s Decision” and the phrase “Prominence” Has Contradicted the Principle of Security of Assurance of Property Rights. |
|
[/et_pb_text][/et_pb_column][/et_pb_row][et_pb_row _builder_version=”4.0.11″][et_pb_column type=”4_4″ _builder_version=”4.0.11″][et_pb_text _builder_version=”4.0.11″ hover_enabled=”0″]
Pertimbangan Mahkamah yang penting: – Menimbang bahwa setelah mendengar dan membaca secara saksama permohonan para Pemohon dan keterangan para pihak beserta bukti-bukti yang diajukan, pada intinya permohonan a quo menguji konstitusionalitas Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) UU 42/1999 yang menurut para Pemohon bertentangan dengan UUD 1945 dengan alasan-alasan sebagaimana yang terurai, Terhadap dalil-dalil para Pemohon tersebut, sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan hal-hal sebagai berikut:
|
Important Court Considerations: – Considering whereas after hearing and carefully reading the petition of the Petitioners and the statements of the parties along with the evidence submitted, in essence the a quo petition examines the constitutionality of Article 15 paragraph (2) and paragraph (3) of Law 42/1999 which according to the Petitioners is contradictory with the 1945 Constitution for the reasons as described, Against the arguments of the Petitioners, before the Court considers further, it is important for the Court to affirm the following matters:
|
|
1. Bahwa pengertian Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda. Dari pengertian tersebut dalam Jaminan Fidusia melekat kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. 2. Bahwa Jaminan Fidusia merupakan jaminan yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada pemegangnya, yang artinya penyerahan benda jaminan secara constitutum posseisorium, di mana penyerahan kepada penerima fidusia (kreditur) adalah hak milik atas benda atas dasar kepercayaan, sedangkan fisik benda yang menjadi objek jaminan tetap ada pada pemberi fidusia (debitur).
|
1. That the definition of Fiduciary is the transfer of ownership rights of an object on the basis of trust provided that the object whose ownership rights are transferred remains in the control of the owner of the object. From this understanding in the Fiduciary Security the inherent executive power is the same as a court decision that has permanent legal force. 2. That the Fiduciary Securityis a Security that gives priority to the holder, which means the submission of collateral objects in constitutum posseisorium, where the surrender to the fiduciary recipient (creditor) is the right of ownership over the object on the basis of trust, while the physical object which is the object of permanent collateral exist in the fiduciary giver (debtor).
|
|
3. Bahwa Jaminan Fidusia merupakan perjanjian yang bersifat accesoir dengan perjanjian utamanya yang artinya bahwa perjanjian pokoknya adalah berupa perjanjian pinjam-meminjam atau perjanjian lain yang dapat dinilai dengan uang sepanjang yang menjadi objek perjanjian fidusia adalah benda bergerak, baik berwujud atau tidak berwujud maupun benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan.
|
3. That the Fiduciary Security is an agreement that is accessory with the main agreement which means that the main agreement is in the form of a loan agreement or other agreement that can be valued with money insofar as the object of the fiduciary agreement is a movable object, both tangible or intangible or non-tangible. move especially buildings that cannot be encumbered with mortgages.
|
|
4. Bahwa Jaminan Fidusia mengandung asas preferensi artinya kreditur penerima fidusia berkedudukan sebagai kreditur yang diutamakan dari kreditur lainnya (asas droit de preference) di samping itu juga melekat asas bahwa Jaminan Fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dalam tangan siapapun benda tersebut berada (asas droit de suite atau zaaksgevolg) serta asas bahwa Jaminan Fidusia adalah asesoritas yang artinya Jaminan Fidusia merupakan perjanjian ikutan.
|
4. That the Fiduciary Security contains the principle of preference, meaning that the fiduciary creditor accepts his position as the preferred creditor of the other creditor (the droit de preference principle), in addition to that, the principle that the Fiduciary Guarantee still follows the object which is the object of the Fiduciary Guarantee in the hand of whoever the object is ( the principle of droit de suite or zaaksgevolg) as well as the principle that the Fiduciary Security is the priority which means the Fiduciary Security is a follow-up agreement.
|
|
5. Bahwa Jaminan Fidusia mengandung syarat publisitas yang bersifat mutlak atau absolut yang artinya bahwa Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan mengikat dan bersifat eksekutorial setelah didaftarkannya perjanjian fidusia tersebut dan telah dikeluarkan sertifikat Jaminan Fidusia yang di dalamnya tercantum irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Dengan demikian, terhadap sertifikat jaminan fidusia melekat kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
|
5. That the Fiduciary Security contains absolute or absolute publicity requirements, which means that the Fiduciary Security has binding and executive power after the fiduciary agreement has been registered and a Fiduciary Security certificate has been issued, which is listed in the “FOR JUSTICE BASED ON ALMIGHTY GOD.” “. Thus, the fiduciary Security certificate is attached to the executorial power which is the same as a court decision that has permanent legal force.
|
|
– Menimbang bahwa setelah mencermati prinsip-prinsip perjanjian Jaminan Fidusia sebagaimana diuraikan selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan asas kepastian hukum dan keadilan yang menjadi syarat fundamental berlakunya sebuah norma dari undang-undang, dalam konteks UU 42/1999, sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap para pihak yang menjadi subjek hukum dan objek benda yang menjadi jaminan dalam perjanjian Jaminan Fidusia tersebut; –
|
– Considering that after observing the principles of the Fiduciary Security agreement as described further, the Court will consider the principle of legal certainty and justice which is a fundamental condition for the application of a norm of law, in the context of Law 42/1999, as a form of legal protection for the parties who become legal subjects and objects that are guaranteed in the Fiduciary Security agreement;
|
|
– Bahwa perjanjian Jaminan Fidusia dilakukan oleh pihak pemberi hak fidusia yang dalam hal ini disebut sebagai debitur dan pihak penerima hak fidusia yang dalam hal ini disebut sebagai kreditur. Pemberian hak fidusia tersebut oleh debitur kepada kreditur sebagai jaminan adanya hubungan hukum utang-piutang yang menjadi perjanjian pokok dengan tujuan agar kreditur mempunyai jaminan hak tagih dalam pemenuhan pembayaran utang debitur yang dapat dilakukan dengan cara melakukan eksekusi terhadap barang jaminan tersebut. Salah satu karakteristik dari perjanjian fidusia adalah adanya penyerahan hak milik barang yang menjadi jaminan dari debitur kepada kreditur sehingga secara yuridis seolah-olah barang yang dalam penguasaan debitur sesungguhnya sudah beralih menjadi hak milik kreditur, sementara itu penguasaan secara fisik terhadap barang jaminan tersebut tetap berada pada debitur berdasarkan asas kepercayaan.
|
– That the Fiduciary Security Agreement is carried out by the party giving the fiduciary right, in this case referred to as the debtor and the party receiving the fiduciary right, in this case referred to as the creditor. The granting of fiduciary rights by the debtor to the creditor as a Security of a legal relationship between debts and receivables becomes the principal agreement with the aim that the creditor has a guarantee of claim rights in fulfilling debtor debt payments that can be done by executing the collateral. One of the characteristics of a fiduciary agreement is the surrender of the ownership of the goods which is guaranteed by the debtor to the creditor so that legally it is as if the goods under the debtor’s control have actually become the property of the creditor, while the physical control over the collateral remains debtors based on the principle of trust.
|
|
– Bahwa lebih lanjut, apabila dicermati perjanjian Jaminan Fidusia yang objeknya adalah benda bergerak dan/atau tidak bergerak sepanjang tidak dibebani hak tanggungan dan subjek hukum yang dapat menjadi pihak dalam perjanjian dimaksud adalah kreditur dan debitur, maka perlindungan hukum yang berbentuk kepastian hukum dan keadilan seharusnya diberikan terhadap ketiga unsur tersebut di atas, yaitu kreditur, debitur, dan objek hak tanggungan. Dengan identifikasi terhadap persoalan perjanjian Jaminan Fidusia tersebut, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan sejauh mana Undang-Undang Jaminan Fidusia khususnya norma dari pasal-pasal yang berkaitan dengan perjanjian jaminan fidusia telah bekerja dalam mewujudkan bentuk perlindungan hukum baik kepastian hukum maupun keadilan bagi pihak-pihak yang terikat oleh suatu perjanjian fidusia dan objek yang menjadi Jaminan dalam perjanjian fidusia tersebut.
|
– That further, if a Fiduciary Collateral agreement is observed, the object is a movable and / or immovable object as long as it is not burdened with mortgage and legal subjects that can become parties to the agreement referred to are creditors and debtors, then legal protection in the form of legal certainty and justice should be given to the three elements mentioned above, namely creditors, debtors, and objects of mortgage rights. With the identification of the issue of the Fiduciary Securityagreement, the Court will then consider the extent to which the Fiduciary Security Law , especially the norms of articles relating to the fiduciary guarantee agreement, has worked in realizing a form of legal protection both legal certainty and justice for bound parties. by a fiduciary agreement and the object which becomes the Collateral in the fiduciary agreement.
|
|
– Menimbang bahwa untuk mendapatkan deskripsi yang lengkap dalam menilai ada atau tidaknya permasalahan yang berkaitan dengan bentuk perlindungan hukum baik kepastian hukum maupun keadilan terhadap pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian fidusia termasuk juga objek yang menjadi Jaminan Fidusia, maka tidak dapat dilepaskan dari esensi dasar norma yang mengatur tentang sifat perjanjian Jaminan Fidusia terutama terhadap norma pasal yang dipersoalkan oleh para Pemohon yaitu Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) UU 42/1999. Norma yang termuat dalam pasal a quo merupakan norma yang bersifat fundamental. Sebab, dari norma yang termuat dalam pasal tersebutlah terbit kekuatan eksekusi yang dapat dilaksanakan sendiri oleh pemegang jaminan fidusia (kreditur) yang kemudian banyak menimbulkan permasalahan, baik terkait dengan konstitusionalitas norma maupun implementasi.
|
– Considering whereas to obtain a complete description in assessing whether or not there are problems related to the form of legal protection, both legal certainty and justice for parties bound in a fiduciary agreement, including objects that become Fiduciary Security, they cannot be released from the basic essence of the norm which regulates the nature of the Fiduciary Security agreement, especially regarding the norms of the article in question by the Petitioners, namely Article 15 paragraph (2) and paragraph (3) of Law 42/1999. The norm contained in article a quo is a fundamental norm. Because, from the norms contained in the article, the power of execution that can be carried out by the fiduciary collateral holders (creditors) is published, which then causes many problems, both related to the constitutionality of the norms and implementation.
|
|
– Bahwa berkaitan dengan permasalahan konstitusionalitas Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 yang memberikan “titel eksekutorial” terhadap sertifikat fidusia dan “mempersamakan dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap” di dalamnya terkandung makna bahwa sertifikat fidusia mempunyai kekuatan eksekusi tanpa disyaratkan adanya putusan pengadilan yang didahului oleh adanya gugatan secara keperdataan dan pelaksanaan eksekusinya diperlakukan sama sebagaimana halnya terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dari kandungan makna sebagaimana yang tersirat dalam norma Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 tersebut di atas secara sederhana dapat dipahami bahwa sertifikat fidusia memberikan hak yang sangat kuat kepada penerima fidusia, dalam hal ini kreditur, karena sertifikat fidusia langsung dapat bekerja setiap saat ketika pemberi fidusia, dalam hal ini debitur, telah dianggap cidera janji. Argumentasinya adalah karena, secara hukum, dalam perjanjian fidusia hak milik kebendaan sudah berpindah menjadi hak penerima fidusia (kreditur), sehingga kreditur dapat setiap saat mengambil objek jaminan fidusia dari debitur dan selanjutnya menjual kepada siapapun dengan kewenangan penuh ada pada kreditur dengan alasan karena kekuatan eksekusi dari sertifikatnya telah dipersamakan dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap oleh penerima fidusia (kreditur) tanpa perlu meminta bantuan pengadilan untuk pelaksanaan eksekusi. Hal tersebut menunjukkan, di satu sisi, adanya hak yang bersifat eksklusif yang diberikan kepada kreditur dan, di sisi lain, telah terjadi pengabaian hak debitur yang seharusnya juga mendapat perlindungan hukum yang sama, yaitu hak untuk mengajukan/mendapat kesempatan pembelaan diri atas adanya dugaan telah cidera janji (wanprestasi) dan kesempatan mendapatkan hasil penjualan objek jaminan fidusia dengan harga yang wajar. Dengan kata lain, dalam hal ini, penilaian perihal telah terjadinya “cidera janji” secara sepihak dan eksklusif ditentukan oleh kreditur (penerima fidusia) tanpa memberikan kesempatan kepada deditur (pemberi fidusia) untuk melakukan sanggahan dan atau pembelaan diri.
|
– Whereas relating to the issue of constitutionality Article 15 paragraph (2) of Law 42/1999 which gives an “executorial title” to fiduciary certificates and “equalizes court decisions that have permanent legal force” in it implies that fiduciary certificates have the power of execution without being required a court ruling preceded by a civil lawsuit and the execution of its execution is treated the same as for a court ruling that has permanent legal force. From the content of the meaning as implied in the norms of Article 15 paragraph (2) of Law 42/1999 above it can be simply understood that the fiduciary certificate gives a very strong right to the fiduciary recipient, in this case the creditor, because the fiduciary certificate can work at any time when the fiduciary giver, in this case the debtor, has been deemed breach of contract. The argument is because, legally, in the fiduciary agreement the property rights have been transferred to the right of the fiduciary recipient (creditor), so that the creditor can at any time take the fiduciary guarantee object from the debtor and then sell to anyone with full authority in the creditor on the grounds of the execution power the certificate has been compared to a court decision that has permanent legal force by the fiduciary recipient (creditor) without the need to ask for court assistance for the execution. This shows, on the one hand, the existence of exclusive rights granted to creditors and, on the other hand, there has been a negligence of the rights of debtors who should also receive the same legal protection, namely the right to propose / get a chance of self-defense over alleged breach of contract (default) and the opportunity to obtain proceeds from the sale of fiduciary collateral objects at a reasonable price. In other words, in this case, the assessment regarding the occurrence of “breach of promise” unilaterally and exclusively is determined by the creditor (fiduciary recipient) without giving an opportunity to the deditor (fiduciary giver) to make a rebuttal and or self-defense.
|
|
– Menimbang bahwa berkenaan dengan pertimbangan perihal tidak adanya perlindungan hukum yang seimbang kepada kreditur dan debitur dalam perjanjian fidusia sebagaimana diuraikan dalam pertimbangan sebelumnya, penting bagi Mahkamah untuk mengaitkan hal tersebut dengan prinsip adanya penyerahan hak milik objek jaminan fidusia dari debitur selaku pemberi fidusia kepada kreditur selaku penerima fidusia. Prinsip penyerahan hak milik yang berkenaan dengan objek fidusia tersebut mencerminkan bahwa sesungguhnya substansi perjanjian yang demikian secara nyata menunjukkan adanya ketidakseimbangan posisi tawar antara pemberi hak fidusia (debitur) dengan penerima hak fidusia (kreditur) karena pemberi fidusia (debitur) berada dalam posisi sebagai pihak yang membutuhkan. Dengan kata lain, disetujuinya substansi perjanjian demikian oleh para pihak sesungguhnya secara terselubung berlangsung dalam “keadaan tidak bebas secara sempurna dalam berkehendak,” khususnya pada pihak debitur (pemberi fidusia). Padahal, kebebasan kehendak dalam sebuah perjanjian merupakan salah satu syarat yang fundamentalbagi keabsahan sebuah perjanjian (vide Pasal 1320 KUHPerdata).
|
– Considering that with regard to the consideration regarding the absence of balanced legal protection to creditors and debtors in the fiduciary agreement as described in the previous considerations, it is important for the Court to associate the matter with the principle of the surrender of the fiduciary collateral object from the debtor as the fiduciary giver to the creditor as the fiduciary recipient. The principle of surrender of property rights with respect to fiduciary objects reflects that the actual substance of such agreements clearly shows an imbalance in the bargaining position between the fiduciary rights (debtor) and the recipient of fiduciary rights (creditors) because the fiduciary giver (debtor) is in the position as the party need. In other words, the agreement of the substance of such agreement by the parties actually covertly takes place in a “condition of not being completely free in the will,” especially on the debtor (fiduciary giver). In fact, freedom of will in an agreement is one of the fundamental conditions for the validity of an agreement (vide Article 1320 of the Civil Code).
|
|
– Bahwa dengan mencermati beberapa permasalahan yang berkaitan dengan konstitusionalitas norma Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 yang memberikan “title eksekutorial” dan “mempersamakan dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” telah ternyata dapat berdampak pada adanya tindakan secara sepihak yang dilakukan oleh kreditur yaitu kreditur melakukan eksekusi sendiri terhadap objek jaminan fidusia dengan alasan telah berpindahnya hak kepemilikan objek fidusia tanpa melalui proses eksekusi sebagaimana seharusnya sebuah pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, yaitu seharusnya dengan terlebih dahulu mengajukan permohonan kepada pengadilan negeri. Sebagai konsekuensi logisnya, tindakan secara sepihak yang dilakukan oleh kreditur selaku penerima hak fidusia berpotensi (bahkan secara aktual telah) menimbulkan adanya tindakan sewenang-wenang dan dilakukan dengan cara yang kurang “manusiawi”, baik berupa ancaman fisik maupun psikis yang sering dilakukan kreditur (atau kuasanya) terhadap debitur yang acapkali bahkan dengan mengabaikan hak-hak debitur.
|
– That by examining several issues relating to the constitutionality of the norms of Article 15 paragraph (2) of Law 42/1999 which gives an “executorial title” and “equalizing with a court decision which has obtained permanent legal force” has turned out to have an impact on unilateral actions that conducted by the creditor, that is, the creditor carries out his own execution of the fiduciary collateral object on the grounds that the ownership rights of the fiduciary object have been transferred without going through the execution process as a court decision that has permanent legal force should be, namely by first submitting an application to a district court. As a logical consequence, unilateral actions taken by creditors as potential recipients of fiduciary rights (in fact have actually) led to arbitrary actions and carried out in a less “humane” way, both in the form of physical and psychological threats that are often carried out by creditors (or their attorney) to debtors who often even disregard the rights of debtors.
|
|
– Menimbang bahwa meskipun berdasarkan pertimbangan di atas sesungguhnya telah tampak adanya persoalan konstitusionalitas dalam norma Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999, oleh karena Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 berkait langsungdengan Pasal 15 ayat (3) UU 42/1999, selain karena permohonan para Pemohonan quo juga mendalilkan kaitan demikian dalam permohonannya, maka Mahkamah akan mempertimbangkan terlebih dahulu konstitusionalitas norma Pasal 15 ayat (3) UU 42/1999. Bahwa setelah dicermati dengan saksama telah ternyata ketentuan yang diatur dalam norma Pasal 15 ayat (3) UU 42/1999 merupakan lanjutan dari ketentuan yang diatur dalam norma Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 yang secara substansi merupakan konsekuensi yuridis akibat adanya “titel eksekutorial” dan “dipersamakannya sertifikat jaminan fidusia dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap” sebagaimana substansi norma yang terkandung dalam Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999.
|
– Considering whereas even though based on the above considerations, there actually appears to be a problem of constitutionality in the norm of Article 15 paragraph (2) of Law 42/1999, because Article 15 paragraph (2) of Law 42/1999 is directly related to Article 15 paragraph (3) of Law 42 / 1999, in addition to the petition of the Petitioners quo also postulated such links in their petition, the Court would first consider the constitutionality of the norms of Article 15 paragraph (3) of Law 42/1999. That after careful examination, it turns out that the provisions stipulated in the norms of Article 15 paragraph (3) of Law 42/1999 are a continuation of the provisions stipulated in the norms of Article 15 paragraph (2) of Law 42/1999 which are in substance a juridical consequence due to the “title executorial “and” equating fiduciary guarantee certificates with court decisions that have permanent legal force “as the substance of the norms contained in Article 15 paragraph (2) of Law 42/1999.
|
|
– Bahwa substansi norma dalam Pasal 15 ayat (3) UU 42/1999 berkaitan dengan adanya unsur debitur yang “cidera janji” yang kemudian memberikan hak kepada penerima fidusia (kreditur) untuk menjual benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri. Persoalannya adalah kapan “cidera janji” itu dianggap telah terjadi dan siapa yang berhak menentukan? Inilah yang tidak terdapatkejelasannya dalam norma Undang-Undang a quo. Dengan kata lain, ketiadaan kejelasan tersebut membawa konsekuensi yuridis berupa adanya ketidakpastian hukum perihal kapan sesungguhnya pemberi fidusia (debitur) telah melakukan “cidera janji” yang berakibat timbulnya kewenangan yang bersifat absolut pada pihak penerima fidusia (kreditur) untuk menjual benda yang menjadi objek jaminan fidusia yang berada dalam kekuasaan debitur. Dengan demikian, telah ternyata bahwa dalam substansi norma Pasal 15 ayat (3) UU 42/1999, juga terdapat permasalahan konstitusionalitas turunan yang tidak dapat dipisahkan dengan permasalahan yang sama dengan ketentuan yang substansinya diatur dalam norma Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999, yaitu ketidakpastian hukum yang berkaitan dengan tata cara pelaksanaan eksekusi dan kepastian tentang waktu kapan pemberi fidusia (debitur) dinyatakan “cidera janji” (wanprestasi), apakah sejak adanya tahapan angsuran yang terlambat atau tidak dipenuhi oleh debitur ataukah sejak jatuh tempo pinjaman debitur yang sudah harus dilunasinya. Ketidakpastian demikian juga berakibat pada timbulnya penafsiran bahwa hak untuk menentukan adanya “cidera janji” dimaksud ada di tangan kreditur (penerima fidusia). Adanya ketidakpastian hukum demikian dengan sendirinya berakibat hilangnya hak-hak debitur untuk melakukan pembelaan diri dan kesempatan untuk mendapatkan penjualan objek jaminan fidusia dengan harga yang wajar.
|
– That the substance of the norm in Article 15 paragraph (3) of Law 42/1999 relates to the existence of an element of debtor “breach of promise” which then gives the fiduciary recipient (creditor) the right to sell the object which is the object of fiduciary Security on his own authority. The problem is when the “broken promise” is considered to have occurred and who has the right to determine? This is the lack of clarity in the norms of the a quo Law. In other words, the lack of clarity has juridical consequences in the form of legal uncertainty regarding when the fiduciary giver (debtor) actually committed “breach of promise” resulting in the emergence of absolute authority on the part of the fiduciary recipient (creditor) to sell the object which is the object of fiduciary Security (debtor) which is under the authority of the debtor. Thus, it has been found that in the substance of the norms of Article 15 paragraph (3) of Law 42/1999, there is also a problem of inheritance constitutionality which cannot be separated with the same problem as the provisions whose substance is regulated in the norms of Article 15 paragraph (2) of Law 42/1999 i.e., legal uncertainty related to the execution procedure and certainty about the time when the fiduciary giver (debtor) is declared “breach of promise” (default), whether since the installment stage is late or is not fulfilled by the debtor or whether the due date of the debtor’s loan has been due must be paid off. Such uncertainties also result in the emergence of the interpretation that the right to determine the existence of “breach of promise” in the hands of creditors (fiduciary recipients). The existence of such legal uncertainty naturally results in the loss of the debtor’s rights to conduct self-defense and the opportunity to obtain the sale of fiduciary objects at a reasonable price.
|
|
– Menimbang bahwa tidak adanya kepastian hukum, baik berkenaan dengan tata cara pelaksanaan eksekusi maupun berkenaan dengan waktu kapan pemberi fidusia (debitur) dinyatakan “cidera janji” (wanprestasi), dan hilangnya kesempatan debitur untuk mendapatkan penjualan objek jaminan fidusia dengan harga yang wajar, di samping sering menimbulkan adanya perbuatan “paksaan” dan “kekerasan” dari orang yang mengaku sebagai pihak yang mendapat kuasa untuk menagih pinjaman utang debitur, dapat bahkan telah melahirkan perbuatan sewenang-wenang yang dilakukan oleh penerima fidusia (kreditur) serta merendahkan harkat dan martabat debitur. Hal demikian jelas merupakan bukti adanya persoalan inkonstitusionalitas dalam norma yang diatur dalam Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) UU 42/1999. Sebab, kalaupun sertifikat fidusia mempunyai titel eksekutorial yang memberikan arti dapat dilaksanakan sebagaimana sebuah putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, prosedur atau tata-cara eksekusi terhadap sertifikat fidusia dimaksud harus mengikuti tata-cara pelaksanaan eksekusi sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 196 HIR atau Pasal 208 RBg. Dengan kata lain, eksekusi tidak boleh dilakukan sendiri oleh penerima fidusia melainkan harus dengan mengajukan permohonan kepada pengadilan negeri. Ketentuan Pasal 196 HIR atau Pasal 208 RBg selengkapnya adalah: “jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi isi keputusan itu dengan damai, maka fihak yang menang memasukkan permintaan, baik dengan lisan, maupun dengan surat, kepada ketua, pengadilan negeri yang tersebut pada ayat pertama pasal 195, buat menjalankan keputusan itu Ketua menyuruh memanggil fihak yang dikalahkan itu serta memperingatkan, supaya ia memenuhi keputusan itu di dalam tempo yang ditentukan oleh ketua, yang selama-lamanya delapan hari”
|
– Considering that there is no legal certainty, both with respect to the procedure for carrying out the execution and with regard to the time when the fiduciary giver (debtor) is declared “breach of promise” (default), and the loss of the debtor’s opportunity to obtain the sale of fiduciary object at a reasonable price, at Besides often causing the existence of “coercion” and “violence” from people who claim to be the party that has the power to collect debtors’ debt loans, it can even lead to arbitrary acts committed by fiduciary recipients (creditors) and demean the debtor’s dignity. Such matter is clearly evidence of the problem of unconstitutionality in the norms regulated in Article 15 paragraph (2) and paragraph (3) of Law 42/1999. Because, even if a fiduciary certificate has an executorial title that means it can be implemented as a court decision that has permanent legal force, the procedure or procedure for the execution of the fiduciary certificate must follow the procedures for carrying out the execution as intended in Article 196 HIR or Article 208 RBg. In other words, the execution must not be carried out solely by the fiduciary recipient but rather must submit an application to the district court. The provisions of Article 196 HIR or Article 208 RBg in full are: “If the defeated party is unwilling or negligent to fulfill the contents of the decision peacefully, then the winning party submits a request, both verbally, or by letter, to the chairman, the district court mentioned in the first paragraph of article 195, to carry out the decision. order to call the defeated party and warn, so that he fulfills the decision within the tempo determined by the chairman, which is for eight days “
|
|
– Bahwa lebih lanjut penting ditegaskan oleh Mahkamah, tanpa bermaksud mengabaikan karakteristik fidusia yang memberikan hak secara kebendaan kepada pemegang atau penerima fidusia (kreditur), sehingga pemegang atau penerima fidusia (kreditur) dapat melakukan eksekusi sendiri terhadap barang yang secara formal adalah miliknya sendiri, demi kepastian hukum dan rasa keadilan yaitu adanya keseimbangan posisi hukum antara pemberi hak fidusia (debitur) dan penerima fidusia (kreditur) serta untuk menghindari timbulnya kesewenang-wenangan dalam pelaksanaan eksekusi, Mahkamah berpendapat kewenangan eksklusif yang dimiliki oleh penerima hak fidusia (kreditur) tetap dapat melekat sepanjang tidak terdapat permasalahan dengan kepastian waktu perihal kapan pemberi hak fidusia (debitur) telah “cidera janji” (wanprestasi) dan debitur secara suka rela menyerahkan benda yang menjadi objek dari perjanjian fidusia kepada kreditur untuk dilakukan penjualan sendiri. Dengan kata lain, dalam hal ini, pemberi fidusia (debitur) mengakui bahwa dirinya telah “cidera janji” sehingga tidak ada alasan untuk tidak menyerahkan benda yang menjadi objek perjanjian fidusia kepada penerima fidusia (kreditur) guna dilakukan penjualan sendiri oleh penerima fidusia (kreditur).
|
– That furthermore, it is important to be emphasized by the Court, without intending to ignore the fiduciary characteristics which give material rights to the fiduciary holder or recipient (creditor), so that the fiduciary holder or recipient (creditor) can carry out his own execution of goods that are formally his own, in order legal certainty and sense of justice, namely a balance of legal position between fiduciary rights (debtors) and fiduciary recipients (creditors) and to avoid arbitrariness in execution, the Court is of the opinion that the exclusive authority possessed by fiduciary rights recipients (creditors) can still be inherent as long as there is no problem with the certainty of the time regarding when the fiduciary rights giver (debtor) has “broken the promise” (default) and the debtor voluntarily surrenders the object which is the object of the fiduciary agreement to the creditor for self-sale. In other words, in this case, the fiduciary giver (debtor) acknowledges that he has “broken the promise” so that there is no reason not to surrender the object of the fiduciary agreement to the fiduciary recipient (creditor) for self-sale by the fiduciary recipient (creditor) .
|
|
– Bahwa dengan demikian telah jelas dan terang benderang sepanjang pemberi hak fidusia (debitur) telah mengakui adanya “cidera janji” (wanprestasi) dan secara sukarela menyerahkan benda yang menjadi objek dalam perjanjian fidusia, maka menjadi kewenangan sepenuhnya bagi penerima fidusia (kreditur) untuk dapat melakukan eksekusi sendiri (parate eksekusi). Namun, apabila yang terjadi sebaliknya, di mana pemberi hak fidusia (debitur) tidak mengakui adanya “cidera janji” (wanprestasi) dan keberatan untuk menyerahkan secara sukarela benda yang menjadi objek dalam perjanjian fidusia, maka penerima hak fidusia (kreditur) tidak boleh melakukan eksekusi sendiri melainkan harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada pengadilan negeri. Dengan demikian hak konstitusionalitas pemberi hak fidusia (debitur) dan penerima hak fidusia (kreditur) terlindungi secara seimbang.
|
– That thus it has been clear and clear as long as the fiduciary rights (debtor) have recognized the “breach of promise” (default) and voluntarily surrendered the object which is the object in the fiduciary agreement, then it becomes the full authority for the fiduciary recipient (creditor) to be able to do the execution itself (parate execution). However, if the opposite occurs, where the fiduciary rights giver (debtor) does not recognize the existence of “breach of promise” (default) and objections to voluntarily surrendering objects that are objects in the fiduciary agreement, then the recipient of fiduciary rights (the creditor) may not execute itself but must submit a request for execution to the district court. Thus the constitutionality of fiduciary rights (debtors) and recipients of fiduciary rights (creditors) is protected equally.
|
|
– Menimbang bahwa dengan pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas telah cukup alasan bagi Mahkamah untuk menyatakan norma Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999, khususnya frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” hanya dapat dikatakan konstitusional sepanjang dimaknai bahwa “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang telah terjadinya “cidera janji” (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”. Sementara itu, terhadap norma Pasal 15 ayat (3) UU 42/1999 khususnya frasa “cidera janji” hanya dapat dikatakan konstitusional sepanjang dimaknai bahwa “adanya cidera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur melainkan atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya hukum yang menentukan telah terjadinya cidera janji”, sebagaimana selengkapnya akan dituangkan dalam amar putusan perkara a quo; – |
– Considering whereas with the legal considerations as described above, there is sufficient reason for the Court to state the norms of Article 15 paragraph (2) of Law 42/1999, specifically the phrase “executive power” and the phrase “the same as a court decision with permanent legal force” can only be said constitutional insofar as it is interpreted that “against fiduciary Securityfor which there is no agreement about the occurrence of” breach of promise “(default) and debtors object to voluntarily submitting objects that become fiduciary Security, then all legal mechanisms and procedures in the execution of the execution of the Fiduciary SecurityCertificate must be carried out and the same applies by carrying out the execution of court decisions that have permanent legal force “. Meanwhile, the norms of Article 15 paragraph (3) of Law 42/1999 especially the phrase “breach of contract” can only be said to be constitutional insofar as it is interpreted that “the breach of promise is not determined unilaterally by the creditor but on the basis of an agreement between the creditor and the debtor or on the basis of efforts the law which determines the breach of promise “, as will be fully outlined in the a quo case ruling;
|
|
– Bahwa pendirian Mahkamah sebagaimana yang akan ditegaskan dalam amar putusan perkara a quo tidaklah serta-merta menghilangkan keberlakuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan eksekusi sertifikat jaminan fidusia yang bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum kepada para pihak yang terikat dalam perjanjian fidusia, sepanjang sejalan dengan pertimbangan dan pendirian Mahkamah a quo. Dengan demikian, baik eksekusi yang dilaksanakan oleh kreditur sendiri karena telah ada kesepakatan dengan pihak debitur maupun eksekusi yang diajukan melalui pengadilan negeri, tetap dimungkinkan bantuan dari kepolisian dengan alasan untuk menjaga keamanan dan ketertiban dalam proses pelaksanaan eksekusi. Bantuan demikian sudah merupakan kelaziman dalam setiap pengadilan negeri menjalankan fungsi dalam pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam perkara perdata pada umumnya.
|
– That the establishment of the Court as will be affirmed in the a quo case verdict does not necessarily eliminate the validity of the laws and regulations relating to the execution of fiduciary Security certificates aimed at providing legal protection to the parties bound in the fiduciary agreement, as long as it is in line with consideration and the establishment of the a quo court. Thus, both the execution carried out by the creditor himself because there has been an agreement with the debtor and the execution submitted through the district court, it is still possible for assistance from the police with the reason to maintain security and order in the execution process. Such assistance is a norm in every district court carrying out functions in the implementation of court decisions that have permanent legal force in civil cases in general.
|
|
Untuk pertimbangan mahkamah lebih lengkap dapat dilihat di putusan mk yang mana dapat diunduh ditautan yang saya sediakan di bagian bawah post ini. |
For more complete consideration, the court can be seen in the decision of the MK which can be downloaded, the link I provide at the bottom of this post.
|
|
|
||
Putusan 1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
|
Decision 1. To grant the Petitioner’s petition in part;
|
|
2. Menyatakan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889) sepanjang frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hokum mengikat sepanjang tidak dimaknai “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”;
|
2. Declare Article 15 paragraph (2) of Law Number 42 of 1999 concerning Fiduciary Security (Statute Book of the Republic of Indonesia Number 168 of 1999, Supplement to State Gazette of the Republic of Indonesia Number 3889) as long as the phrase “executive power” and phrase “equals a court decision which has permanent legal force “contrary to the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia and has no binding legal force insofar as it is not interpreted” to fiduciary Securitywithout agreement on breach of contract (default) and debtors object to voluntary surrender of objects subject to fiduciary security , then all legal mechanisms and procedures in carrying out the execution of the Fiduciary SecurityCertificate must be carried out and apply the same as the execution of a court decision that has permanent legal force “;
|
|
3. Menyatakan Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889) sepanjang frasa “cidera janji” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa “adanya cidera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur melainkan atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya hukum yang menentukan telah terjadinya cidera janji”. | 3. Declare Article 15 paragraph (3) of Law Number 42 of 1999 concerning Fiduciary Security (State Gazette of the Republic of Indonesia Number 168 of 1999, Supplement to Statute Book of the Republic of Indonesia Number 3889) as long as the phrase “breach of promise” is contrary to the Basic Law of the State The Republic of Indonesia of 1945 and has no binding legal force insofar as it does not mean that “the existence of a breach of contract is not determined unilaterally by the creditor but on the basis of an agreement between the creditor and the debtor or on the basis of legal efforts that determine the occurrence of breach of promise”. | |
4. Menyatakan Penjelasan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889) sepanjang frasa “kekuatan eksekutorial” bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”;
|
4. Stating Explanation of Article 15 paragraph (2) of Law Number 42 of 1999 concerning Fiduciary Security (State Gazette of the Republic of Indonesia of 1999 Number 168, Supplement to the State Gazette of the Republic of Indonesia Number 3889) as long as the phrase “executive power” is contrary to the Basic Law The Republic of Indonesia in 1945 and does not have binding legal force insofar as it is not interpreted “to fiduciary Security for which there is no agreement on breach of contract and debtors object to voluntarily submitting objects that become fiduciary Security , then all legal mechanisms and procedures in the execution of the execution of the Fiduciary Security Certificate must carried out and applies the same as the execution of court decisions that have permanent legal force “;
|
|
5. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya; 6. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.
|
5. Order the loading of this decision in the Official Gazette of the Republic of Indonesia as it should; 6. Refuse the petition of the Petitioners for other than the rest. |
|
Catatan: Dengan berlakunya Putusan MK ini, maka hal-hal berikut harus dicatat dalam pelaksanaan jaminan fidusia: 1. Cidera Janji sebaiknya diatur lebih jelas didalam Perjanjian Pinjam Meminjam maupun perjanjian primair lainnya yang menentukan keadaan mana yang akan membuat debitor cidera janji; atau 2. Apabila diperlukan, membuat surat penerimaan yang ditandatangani oleh debitor bahwa keadaan gagal bayar oleh debitor merupakan keadaan yang memenuhi keadaan “cidera janji” di dalam perjanjian primair.
|
Note: With the entry into force of this Constitutional Court Decision, the following points must be noted in the implementation of fiduciary security: 1. The breach of contract should be more clearly regulated in the Loan and Loan Agreement and other primair agreements which determine which conditions deemed the debtor’s breach of contract; or 2. If necessary, make a letter of acceptance signed by the debtor that the default condition by the debtor is a condition that meets the conditions of “default” in the Primair agreement.
|
[/et_pb_text][/et_pb_column][/et_pb_row][et_pb_row column_structure=”1_2,1_2″ _builder_version=”4.0.4″ custom_margin=”2px|auto|24px|auto||” custom_padding=”0px|0px|0px|0px|false|false”][et_pb_column type=”1_2″ _builder_version=”3.25″ custom_padding=”0px||0px|” custom_padding__hover=”|||”][/et_pb_column][et_pb_column type=”1_2″ _builder_version=”3.25″ custom_padding=”0px||0px|” custom_padding__hover=”|||”][/et_pb_column][/et_pb_row][et_pb_row column_structure=”1_2,1_2″ _builder_version=”3.25″ custom_margin=”2px||0px|” custom_padding=”0px|0px|0px|0px|false|false”][et_pb_column type=”1_2″ _builder_version=”3.25″ custom_padding=”0px||0px|” custom_padding__hover=”|||”][et_pb_text _builder_version=”4.0.11″ text_font=”||||||||” text_font_size=”16px” text_line_height=”1.9em” header_font=”||||||||” header_3_font=”Lato|700||on|||||” header_3_text_color=”#3550a0″ header_3_font_size=”24px” header_3_line_height=”1.7em” header_6_font=”||||||||” max_width=”600px” max_width_last_edited=”off|desktop” custom_margin=”|||” custom_padding=”|||” header_3_font_size_tablet=”” header_3_font_size_phone=”20px” header_3_font_size_last_edited=”on|desktop” locked=”off”]The documents can be downloaded at below link / dokumen dapat diunduh di tautan di bawah ini:
putusan_mkri_6694.pdf – 1.0 MB[/et_pb_text][/et_pb_column][et_pb_column type=”1_2″ _builder_version=”3.25″ custom_padding=”0px||0px|” custom_padding__hover=”|||”][et_pb_social_media_follow follow_button=”on” use_icon_font_size=”on” icon_font_size=”28px” _builder_version=”4.0.4″ text_orientation=”center”][et_pb_social_media_follow_network social_network=”instagram” url=”http://instagram.com/abiandzar” _builder_version=”4.0.3″ background_color=”#ea2c59″ follow_button=”on” url_new_window=”on”]instagram[/et_pb_social_media_follow_network][/et_pb_social_media_follow][et_pb_post_slider include_categories=”all” use_manual_excerpt=”off” bg_overlay_color=”#ffffff” _builder_version=”4.0.4″ background_layout=”light” custom_margin=”||-89px|||” custom_padding=”0px||7px|||” border_color_all_image=”#ffffff”][/et_pb_post_slider][/et_pb_column][/et_pb_row][/et_pb_section][et_pb_section fb_built=”1″ admin_label=”FAQ” _builder_version=”3.22.3″ use_background_color_gradient=”on” background_color_gradient_start=”rgba(240,242,246,0.5)” background_color_gradient_end=”rgba(255,255,255,0)” background_color_gradient_direction=”90deg” collapsed=”on”][et_pb_row column_structure=”1_3,2_3″ _builder_version=”3.25″ custom_padding=”27px|0px|27px|1px|false|false”][et_pb_column type=”1_3″ _builder_version=”3.25″ custom_padding=”|||” custom_padding__hover=”|||”][et_pb_social_media_follow _builder_version=”3.25.3″ custom_margin=”-4px||-1px” custom_padding=”||9px|||”][et_pb_social_media_follow_network social_network=”facebook” url=”https://web.facebook.com/abianzar” _builder_version=”3.25.3″ background_color=”#3b5998″ follow_button=”off” url_new_window=”on”]facebook[/et_pb_social_media_follow_network][et_pb_social_media_follow_network social_network=”twitter” url=”https://twitter.com/abianzar” _builder_version=”3.25.3″ background_color=”#00aced” follow_button=”off” url_new_window=”on”]twitter[/et_pb_social_media_follow_network][et_pb_social_media_follow_network social_network=”instagram” url=”https://www.instagram.com/abiandzar” _builder_version=”3.25.3″ background_color=”#ea2c59″ follow_button=”off” url_new_window=”on”]instagram[/et_pb_social_media_follow_network][/et_pb_social_media_follow][et_pb_cta title=”Frequently Asked Questions” button_url=”mailto:contact@andzaribrahim.com” url_new_window=”on” button_text=”Ask A Question” admin_label=”Title & CTA” _builder_version=”4.0.7″ header_font=”Playfair Display|700|||||||” header_font_size=”40px” header_line_height=”1.5em” body_font=”Lato||||||||” body_font_size=”16px” body_line_height=”1.8em” use_background_color=”off” custom_button=”on” button_text_size=”16px” button_text_color=”#ffffff” button_bg_color=”#3550a0″ button_border_width=”10px” button_border_color=”rgba(210,159,104,0)” button_border_radius=”100px” button_font=”Lato|900|||||||” button_use_icon=”off” text_orientation=”left” background_layout=”light” max_width_last_edited=”off|desktop” module_alignment=”right” custom_margin=”|||” custom_padding=”0px|||||” header_font_size_tablet=”30px” header_font_size_phone=”24px” header_font_size_last_edited=”on|phone” button_bg_color_hover=”#4159a0″ button_text_size__hover_enabled=”off” button_one_text_size__hover_enabled=”off” button_two_text_size__hover_enabled=”off” button_text_color__hover_enabled=”off” button_one_text_color__hover_enabled=”off” button_two_text_color__hover_enabled=”off” button_border_width__hover_enabled=”off” button_one_border_width__hover_enabled=”off” button_two_border_width__hover_enabled=”off” button_border_color__hover_enabled=”off” button_one_border_color__hover_enabled=”off” button_two_border_color__hover_enabled=”off” button_border_radius__hover_enabled=”off” button_one_border_radius__hover_enabled=”off” button_two_border_radius__hover_enabled=”off” button_letter_spacing__hover_enabled=”off” button_one_letter_spacing__hover_enabled=”off” button_two_letter_spacing__hover_enabled=”off” button_bg_color__hover_enabled=”on” button_bg_color__hover=”#4159a0″ button_one_bg_color__hover_enabled=”off” button_two_bg_color__hover_enabled=”off”][/et_pb_cta][/et_pb_column][et_pb_column type=”2_3″ _builder_version=”3.25″ custom_padding=”|||” custom_padding__hover=”|||”][et_pb_accordion open_toggle_text_color=”#3550a0″ open_toggle_background_color=”#f0f2f6″ closed_toggle_text_color=”#3550a0″ closed_toggle_background_color=”#f0f2f6″ icon_color=”#3550a0″ _builder_version=”3.16″ toggle_font=”Nunito|800||on|||||” toggle_font_size=”14px” toggle_letter_spacing=”3px” toggle_line_height=”1.5em” body_font=”||||||||” body_font_size=”16px” body_line_height=”1.9em” custom_margin=”|||” custom_padding=”|||” border_width_all=”0px”][et_pb_accordion_item title=”%91Question%93″ open=”on” _builder_version=”3.16″ custom_margin=”10px||10px||true” custom_padding=”30px||30px||true”][/et_pb_accordion_item][et_pb_accordion_item title=”%91Question%93″ _builder_version=”3.10.2″ custom_margin=”10px||10px||true” custom_padding=”30px||30px||true” open=”off”][Answer]
[/et_pb_accordion_item][et_pb_accordion_item title=”%91QUESTION%93″ _builder_version=”3.10.2″ custom_margin=”10px||10px||true” custom_padding=”30px||30px||true” open=”off”][Answer]
[/et_pb_accordion_item][et_pb_accordion_item title=”%91QUESTION%93″ _builder_version=”3.10.2″ custom_margin=”10px||10px||true” custom_padding=”30px||30px||true” open=”off”][Answer]
[/et_pb_accordion_item][et_pb_accordion_item title=”%91QUESTION%93″ _builder_version=”3.10.2″ custom_margin=”10px||10px||true” custom_padding=”30px||30px||true” open=”off”][Answer]
[/et_pb_accordion_item][/et_pb_accordion][/et_pb_column][/et_pb_row][/et_pb_section][et_pb_section fb_built=”1″ specialty=”on” padding_2_tablet=”60px|50px|60px|50px|true|true” admin_label=”Footer” _builder_version=”3.22.3″ use_background_color_gradient=”on” background_color_gradient_start=”#ffffff” background_color_gradient_end=”rgba(240,242,246,0.5)” background_color_gradient_direction=”90deg” background_color_gradient_start_position=”70%” background_color_gradient_end_position=”30%”][et_pb_column type=”1_2″ specialty_columns=”2″ _builder_version=”3.25″ custom_padding=”|||” parallax__hover=”off” parallax_method__hover=”on” custom_padding__hover=”|||”][et_pb_row_inner _builder_version=”3.25″][et_pb_column_inner saved_specialty_column_type=”1_2″ _builder_version=”3.25″ custom_padding=”|||” parallax__hover=”off” parallax_method__hover=”on” custom_padding__hover=”|||”][et_pb_signup mailchimp_list=”SlavaET|42d4a98af1″ layout=”top_bottom” first_name_field=”off” last_name_field=”off” title=”Subscribe to this Website” description=”
Subscribe for news & resources
” _builder_version=”4.0.11″ form_field_background_color=”#f0f2f6″ header_level=”h4″ header_font=”Lato|700|||||||” header_font_size=”24px” header_line_height=”1.5em” body_font=”||||||||” body_font_size=”16px” body_line_height=”1.9em” form_field_font=”|700|||||||” form_field_line_height=”1.5em” use_background_color=”off” custom_button=”on” button_text_size=”16px” button_text_color=”#ffffff” button_bg_color=”#3550a0″ button_border_width=”10px” button_border_color=”rgba(210,159,104,0)” button_border_radius=”100px” button_font=”Lato|900|||||||” button_use_icon=”off” background_layout=”light” hover_enabled=”0″ header_font_size_tablet=”” header_font_size_phone=”20px” header_font_size_last_edited=”on|phone” border_radii_fields=”on|36px|36px|36px|36px” button_bg_color_hover=”#4159a0″ button_text_size__hover_enabled=”off” button_one_text_size__hover_enabled=”off” button_two_text_size__hover_enabled=”off” button_text_color__hover_enabled=”off” button_one_text_color__hover_enabled=”off” button_two_text_color__hover_enabled=”off” button_border_width__hover_enabled=”off” button_one_border_width__hover_enabled=”off” button_two_border_width__hover_enabled=”off” button_border_color__hover_enabled=”off” button_one_border_color__hover_enabled=”off” button_two_border_color__hover_enabled=”off” button_border_radius__hover_enabled=”off” button_one_border_radius__hover_enabled=”off” button_two_border_radius__hover_enabled=”off” button_letter_spacing__hover_enabled=”off” button_one_letter_spacing__hover_enabled=”off” button_two_letter_spacing__hover_enabled=”off” button_bg_color__hover_enabled=”on” button_bg_color__hover=”#4159a0″ button_one_bg_color__hover_enabled=”off” button_two_bg_color__hover_enabled=”off”][/et_pb_signup][et_pb_social_media_follow _builder_version=”3.13.1″ border_radii=”on|100px|100px|100px|100px”][et_pb_social_media_follow_network social_network=”facebook” url=”https://www.facebook.com/abianzar” _builder_version=”3.13.1″ background_color=”rgba(0,0,0,0.8)” custom_margin=”|||” custom_padding=”10px|10px|10px|10px|true|true” follow_button=”off” url_new_window=”on”]facebook[/et_pb_social_media_follow_network][et_pb_social_media_follow_network social_network=”twitter” _builder_version=”3.10.2″ background_color=”rgba(0,0,0,0.8)” custom_margin=”|||” custom_padding=”10px|10px|10px|10px|true|true” follow_button=”off” url_new_window=”on”]twitter[/et_pb_social_media_follow_network][et_pb_social_media_follow_network social_network=”linkedin” _builder_version=”3.10.2″ background_color=”rgba(0,0,0,0.8)” custom_margin=”|||” custom_padding=”10px|10px|10px|10px|true|true” follow_button=”off” url_new_window=”on”]linkedin[/et_pb_social_media_follow_network][et_pb_social_media_follow_network social_network=”instagram” url=”https://www.instagram.com/abiandzar/” _builder_version=”3.13.1″ background_color=”rgba(0,0,0,0.8)” custom_margin=”|||” custom_padding=”10px|10px|10px|10px|true|true” follow_button=”off” url_new_window=”on”]instagram[/et_pb_social_media_follow_network][et_pb_social_media_follow_network social_network=”youtube” url=”https://www.youtube.com/channel/UCZSX8rvhsVd8_ZQrl2MYAwg?app=desktop” _builder_version=”3.13.1″ background_color=”rgba(0,0,0,0.8)” custom_margin=”|||” custom_padding=”10px|10px|10px|10px|true|true” follow_button=”off” url_new_window=”on”]youtube[/et_pb_social_media_follow_network][/et_pb_social_media_follow][/et_pb_column_inner][/et_pb_row_inner][/et_pb_column][et_pb_column type=”1_2″ _builder_version=”3.25″ custom_padding=”|||” padding_tablet__hover=”60px|50px|60px|50px|true|true” parallax__hover=”off” parallax_method__hover=”on” custom_padding__hover=”|||”][et_pb_text _builder_version=”3.27.4″ text_font=”||||||||” text_font_size=”16px” text_line_height=”1.9em” link_font=”||||||||” link_text_color=”#ffffff” ul_font=”||||||||” ol_font=”||||||||” quote_font=”||||||||” header_font=”||||||||” header_font_size=”40px” header_2_font=”Playfair Display|700|||||||” header_2_font_size=”40px” header_2_line_height=”1.5em” header_3_font=”||||||||” header_4_font=”Lato|700|||||||” header_4_text_color=”rgba(255,255,255,0.4)” header_4_font_size=”16px” header_4_line_height=”1.5em” background_color=”#3550a0″ background_layout=”dark” custom_margin=”0px||-1px|” custom_padding=”60px|40px|60px|40px|true|true” header_font_size_tablet=”30px” header_font_size_phone=”24px” header_font_size_last_edited=”on|phone” header_2_font_size_tablet=”30px” header_2_font_size_phone=”” header_2_font_size_last_edited=”on|tablet” box_shadow_style=”preset3″ box_shadow_vertical=”100px” box_shadow_blur=”100px” box_shadow_spread=”-60px”]
Contact
Contact@Andzaribrahim.com
[/et_pb_text][et_pb_button button_url=”http://contact@andzaribrahim.com” url_new_window=”on” button_text=”Send a Message” button_alignment=”right” _builder_version=”3.16″ custom_button=”on” button_text_size=”20px” button_text_color=”#000000″ button_bg_color=”rgba(255,255,255,0.71)” button_bg_color_gradient_start=”#000000″ button_border_width=”0px” button_border_color=”#ffffff” button_border_radius=”100px” button_letter_spacing=”0px” button_font=”Lato|700|||||||” button_use_icon=”off” custom_padding=”15px|30px|15px|30px|true|true” button_text_shadow_style=”preset1″ box_shadow_style=”preset1″ button_border_color_hover=”#4159a0″ locked=”off” button_text_size__hover_enabled=”off” button_one_text_size__hover_enabled=”off” button_two_text_size__hover_enabled=”off” button_text_color__hover_enabled=”off” button_one_text_color__hover_enabled=”off” button_two_text_color__hover_enabled=”off” button_border_width__hover_enabled=”off” button_one_border_width__hover_enabled=”off” button_two_border_width__hover_enabled=”off” button_border_color__hover_enabled=”on” button_border_color__hover=”#4159a0″ button_one_border_color__hover_enabled=”off” button_two_border_color__hover_enabled=”off” button_border_radius__hover_enabled=”off” button_one_border_radius__hover_enabled=”off” button_two_border_radius__hover_enabled=”off” button_letter_spacing__hover_enabled=”off” button_one_letter_spacing__hover_enabled=”off” button_two_letter_spacing__hover_enabled=”off” button_bg_color__hover_enabled=”off” button_one_bg_color__hover_enabled=”off” button_two_bg_color__hover_enabled=”off”][/et_pb_button][/et_pb_column][/et_pb_section][et_pb_section fb_built=”1″ _builder_version=”3.25.3″][et_pb_row _builder_version=”3.25.3″][et_pb_column type=”4_4″ _builder_version=”3.25.3″][/et_pb_column][/et_pb_row][/et_pb_section]